Google Translate to

Indo

Senin, 20 Desember 2010

Pencarian Metode Pendidikan Jiwa (Bagian 1)

Saya mencemaskan anak saya. Anak pertama lahir setelah 7 tahun pernikahan. tersemat di Akta Kelahirannya nama Najwa Dzikrina Istighfarah binti Zulkarnain (5 tahun) disusul Abdillah Tanjung (3 tahun). Dua orang beradik-kakak ini menjadi lubuk curahan hati ayah-bundanya. Najwa pun sudah di Pre-School  dan ini  yang menjadi sumber keresahan saya sebab tahun depan memasuki Elementary School. Alamak! Sekolah-sekolah  yang ditawarkan kepada kami biaya masuknya mahal. 

Saya pun termangu dan mulai membandingkan sekolah saya di SD Negeri tahun 1970-an dengan kondisi belasan tahun terakhir. Dahulu teman sepermainan saya, anak tukang cuci, dengan sistem  pendidikan saat itu memungkinkan dia meraih gelar master dan status sosial terhormat sekarang ini. Banyak anak buruh atau petani miskin di pedesaan pulau Jawa namun anaknya mampu kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Salah satu teman kuliah saya seangkatan di Fakultas Ekonomi UGM di pertengahan tahun 1980-an adalah anak petani miskin di Bantul Yogyakarta namun bisa membiayai kuliahnya dari pekerjaan mengayuh becak. Maka ada peluang terjadinya  Mobilitas Sosial Vertikal.

Apa nak jadi, sekolah Indonesia sarat dengan biaya dan memasuki pusaran 'Kapitalisme-Pendidikan' sebagai implikasi kebijakan negara yang tunduk mengikuti intervensi dan tekanan kekuatan-kekuatan Asing melalui para menir IMF dan Bank Dunia dengan advise-nya KURANGI SUBSIDI di semua lini pembangunan sehingga negara tidak berdaya lagi memberdayakan rakyatnya. Maka terjadilah proses pemiskinan struktural - orang tetap melarat karena dia miskin dan tidak ada akses modal pinjaman lagi -  tidak ada lagi BUUD (Badan Usaha Unit Desa) dan KUD (Kredit Usaha Tani ) untuk mengentaskan petani miskin. Dunia pendidikan pun semakin tertutup aksesnya bagi penduduk miskin karena subsidi tidak lagi mencukupi  anggaran pendidikan nasional.

Yang tertinggal hanya indahnya romantisme sejarah masa lalu. Dimana sebelum pukul 07.00 pagi anak-anak miskin  tanpa alas kaki, celana pendek dan baju beragam (belum ada wajib seragam) penuh semangat berangkat ke sekolah dengan buku-buku paket yang setahun penuh boleh dibawa pulang. Mereka pun lantang menceritakan cita-cita setinggi-tingginya di depan kelas dan berani  pula untuk bermimpi tentang masa depannya. (Murid SD pada tahun 1970-an diperbolehkan tidak beralas kaki terutama di pedesaan, saya sendiri meskipun tinggal di kota Yogyakarta baru mulai bersepatu di bangku kelas 5 atau naik ke kelas 6).  

Sebenarnya bukan biaya pendidikan yang menakutkan saya tetapi sistem pendidikan yang TERLALU 'Intelektualistis'  yang menjadi mimpi buruk saya.  Hal ini mulai dirasakan di tingkat Dasar hingga Menengah-Atas. Pada tingkat Diploma dan Sarjana pun tidak jauh berbeda ditambah kurikulum  yang terlalu Job-Oriented. Motif  kuliah di  Univeritas yang paling dominan dipastikan untuk menjadi orang kaya  maka akan terjadi mobilitas vertikal dari Masyarakat Kelas Bawah ke Masyarakat Menengah - Atas. Tujuan mengubah nasib melalui jalur pendidikan memang tidak salah tetapi hampir tidak ada orang menuntut ilmu (bersekolah) karena kecintaan kepada ilmu itu sendiri, apalagi pada sistem pendidikan kapitalistik.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada institusi pendidikan Islam yang dituduh 'Terlalu Transedental' atau 'Terlalu Spiritualistis'. Dengan menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin mendalam materi ajaran Islam maka akan semakin sukar dipahami pikiran atau bahkan dianggap diluar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Ujung-ujungnya nampak tidak rasional dan tidak memiliki link dengan dengan kehidupan modern.

Sesungguhnya pendidikan dalam Islam tidak mengenal dikotomi seperti itu - tidak ada pemisahan urusan dunia dan masalah spiritual. Pengajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak melulu intelektualistik yang menghasilkan kepribadian Rasional, Pragmatis dan serba praktis dan tidak pula melulu spiritualistik yang terlalu asyik dengan ritual ibadah.

Islam memiliki pengajaran sangat unik, konsep pendidikannya sangat menekankan ILMU dan ilmu dalam Islam berdimensi IMAN dan AMAL. Sebab itulah Konsep Pendidikan Islam sangat menuntut pemahaman tentang 2 hal : 
(1)  Bagaimanakah kedudukan IMAN, ILMU dan AMAL dalam jiwa manusia,
      kemudian
(2)  Bagaimanakah cara menanamkan itu semua ke dalam jiwa manusia.

Saat ini saya sangat kesulitan menemukan tempat pendidikan anak dengan visi seperti itu di sekitar kediaman saya, SD Islam Terpadu yang ada terlalu mahal dan ikut pusaran arus intelektualistik. Sering pula SD dengan label SDIT  ini untuk menarik peminat mencantumkan Iman-Ilmu-Amal atau membentuk generasi Rabbani kenyataannya masih jauh dari harapan. Pendirian banyak pesantren baru yang menjamur termasuk dengan label Pesantren Modern pun masih jauh dari harapan. Nampaknya dibutuhkan pengorbanan IKHLAS dari berbagai kalangan umat yang berkepentingan dengan masa depan Kejayaan Islam untuk bekerja sama dan selalu 'berijtihad' terus-menerus dan dengan seksama mencari sistem pendidikan yang paling cocok dan terintegrasi untuk PENGEMBANGAN JIWA ANAK DALAM SEMUA ASPEK KEJIWAANNYA.

Budaya IKHLAS mencintai ilmu dan memuliakan guru-guru yang juga lkhlas mentransfer ilmunya sementara ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salaf yang justru semakin ditinggalkan, dayeuh-dayeuh dan sebagian pesantren Modern, sisanya wallaahu a'lam. Perlu diketahui, bagi santri pemula harus mengaji dan mengamalkan kitab 'Ta'liimu muta'allim' yang berisi adab (etika) Penuntut ilmu terhadap ilmu itu sendiri, terhadap guru, larangan-larangan dan anjuran-anjuran bagi penuntut ilmu dan hal -hal lain yang relevan.  

CAMKAN! Semua pelaku dunia pendidikan Islam harus memahami benar bahwa jiwa manusia (nafs) adalah  OBYEK pengajaran dalam sistem Pendidikan yang akan diterapkan. Pemahaman terhadap Konsep Jiwa Manusia Dalam Pandangan Islam ini sangat-sangatlah dibutuhkan sebelum bicara tentang metode atau sistem pendidikan, sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
 
Penekanannya adalah bagaimana ilmu itu berproses sehingga ilmunya melahirkan iman bukan bagaimana ilmu didapat (intelektualistik). Jika pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia maka akan lahir manusia-manusia tinggi ilmu dan iman sekaligus banyak amalnya. 
                                          (to be continued)

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More