Google Translate to

Indo
Tampilkan postingan dengan label Introducing ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Introducing ISLAM. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Februari 2011

Bagaimanakah Cara Meraih Kebahagiaan ? ( Bagian 1)

 

Seorang wanita yahudi Professor Senior bidang Sosiologi di New York University (NYU) suatu siang, 26 April 2010, sebelum dzuhur datang ke Islamic Cultural Center of New York untuk janji pertemuan dengan Imam Masjid yang berasal dari Indonesia, M Syamsi Ali. Wanita 40-an tahun yang terlalu muda untuk status profesional ini tidak sabar bertemu yang seharusnya pukul 13.30 siang itu.

Professor Karen Henderson datang dengan harapan  ada solusi atas masalah yang sangat mengganggu pikirannya yang ia bawa sejak penelitian sosiologis dan tinggal di Afghanistan – Pakistan selama 3 tahun.  Dalam pengakuannya saat dialog kemudian, ia mengaku sangat takjub melihat kehidupan di Afghanistan - Pakistan. Takjub yang menghantarkan  pada hidayah dan menjadikan siang itu selepas shalat Dzuhur menjadi mualaf dan meninggalkan keyakinan aslinya, Agama Yahudi.

Kembali ke Karen, saat dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, negara Eropa, dan Asia , termasuk Asia Selatan.

"Tapi satu hal yang harus aku ceritakan, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.

“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” 

"Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”

"Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,” ujarnya seolah bernada marah.

Tiba-tiba ia meneteskan airmata di tengah dialog, tapi sambil melempar senyum berujar :  “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,” 

Begitulah cuplikan yang diceritakan oleh Imam Masjid New York dalam rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com  (Dialog lengkapnya akan saya lampirkan pada PART 2).

 Hakikat Kebahagian Sejati

Islam mengajarkan konsep kebahagiaan sejati adalah apabila hatinya dipenuhi kecintaan yang kental kepada ALLAH SWT dan RASULULLAH SAW. Jika puncak kebahagiaan ini diraih, maka hatinya tidak lagi berpaling kepada yang lain. Sepanjang hidupnya hanya ingin bertemu kepada yang dicintainya ini kelak di akhirat – kehidupan sesudah datangnya kematian. YA … kebahagiaan sejati ada di akhirat.

Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di dunia ini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada tempat di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi. Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup sepenuhnya,  tidak peduli seberapa buruk  situasi yang melingkupi kehidupan itu sendiri. Itulah kebahagiaan yang dilandasi kebenaran IMAN.

Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim as, Ibrahim berkata : "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah pun seketika menjawab, "Pernahkah engkau  melihat seorang sahabat yang tidak suka untuk melihat sahabatnya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."

Imam Ghozali dalam kitab Kimiyatus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) menyatakan    :  “Ketahuilah manusia dijadikan tidak untuk "sia-sia" saja.
Tetapi dijadikan untuk tujuan besar dan mulia.  Meskipun manusia tidak Qadim
(kekal dan azali lagi),  namun ia kelak hidup kekal selama-lamanya (di surga atau neraka). 

Meski badannya kecil dan berasal dari bumi,  namun Ruh atau Nyawa adalah tinggi dan berasal dari sesuatu yang bersifat Ketuhanan.  Apabila hawa nafsunya dibersihkan sebersih-bersihnya,  maka ia akan mencapai taraf paling tinggi dan tidak lagi menjadi hamba kepada hawa nafsu rendah.  Ia akan mempunyai sifat-sifat seperti Malaikat.

Dalam peringkat yang tinggi ini,  didapatinya surganya adalah dalam bertafakur mengenang Allah Yang Maha Indah dan Kekal Abadi.  Ia tidak lagi tunduk kepada kehendak-kehendak kebendaan dan nafsu semata-mata.  Al-Kimiya Keruhanian yang membuat pertukaran ini.

Tinjauan Sekilas Kitab Kimiyatus Sa’adah

Kimia Kebahagian ini ringkasnya berpaling dari dunia dan menghadap kepada ALLAH Subhaanahu wa Taala.  Bahan-bahan Kimia ini adalah empat   :  1.  Mengenal Diri                         2.  Mengenal Allah
                 3.  Mengenal Dunia ini Sebenarnya (Hakikat Dunia)
                 4.  Mengenal Akhirat sebenarnya (Hakikat Akhirat)

Allah SWT telah menurunkan ke bumi 124,000 nabi untuk mengajar manusia tentang bahan-bahan Al-Kimia ini.  Bagaimana hendak menyucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah dan keji itu. Dan ajarannya pun diwariskan kepada Ulama-ulama yang wara’ atau wali-wali kekasih Allah.

Tujuan atau puncak dari Kimia Kebahagiaan ini adalah mencapai Maqam Mahabbah;  puncak tertinggi kebahagiaan yang ingin dimiliki oleh orang-orang yang Mengenal Allah. Singkatnya mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, bukan karena sebagai kewajiban.

Cinta itu sendiri apa? Cinta adalah kecenderungan pada sesuatu yang menyenangkan, sebagaimana panca indera, kesenangan telinga kepada alunan musik, kesenangan lidah pada rasa enak yang semuanya juga dimiliki oleh hewan. Namun pada manusia ada indera keenam yang tidak ada pada makhluk lainnya, yaitu Persepsi yang ada di hati. Dengan Persepsi ini kita menyadari suatu keindahan dan keunggulan ROHANI.

Maksudnya orang yang hanya akrab dengan kesenangan dunia (inderawi) tidak akan bisa memahami maksud Nabi SAW,  saat bersabda bahwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meski keduanya  juga menyenangkan baginya. Orang  yang mata-hati(persepsi)nya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya mengakrabi kesenangan inderawi (dunia)  berkata :   “keindahan seseorang ada pada kulit putih, tubuh  serasi dan seterusnya.”  Sebaliknya ia buta terhadap keindahan sifat-sifat yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.

Adapun orang yang memiliki persepsi lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang mulia yang telah jauh mendahului kita - seperti para nabi dan orang saleh - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meski sudah meninggal ribuan tahun. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah.

Saat kita ingin membangkitkan rasa cinta di hati seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan tubuhnya atau harta yang dimiliki, melainkan diuraikan kunggulan ruhaniah dan sifat mulianya.

Sebab-Sebab Yang Dapat Membangkitkan Kecintaan

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri.

Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah,  karena  keberadaan dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil ke dunia secara kasat mata. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah.

Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak berterimakasih kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.

Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Karenanya ia pasti mencintai Allah kalau saja bukan karena  sikap masa-bodohnya  terhadap Allah. Orang bodoh juga tidak bisa mencintai-Nya, karena cinta kepada Allah memancar langsung dari pengetahuan tentang Allah. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan ?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah.

Kebaikan apapun yang diterima dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apapun yang menggerakkan orang memberi kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan memperoleh
pahala / nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.

Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.

Allah berfirman kepada Nabi Daud, "AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah ?"

Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah.

Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw :
"Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Lebih jauh lagi Allah telah berfirman :

"Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya."

Juga Allah berfirman kepada Musa as. :

"Aku pernah sakit tetapi engkau tidak menjengukku ! "

Musa as menjawab : "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?"

Allah berfirman : "Salah seorang hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungi-Ku."

Membahas “kemiripan” dalam memahami hadits ini adalah masalah yang sangat krusial dan membahayakan aqidah yang lurus. Terutama berbahaya bagi muslim yang awam atau dangkal aqidahnya. Sebab orang yang cerdas dan juga paham ilmu agama bisa saja tersandung dalam membicarakan soal ini sehingga berpaham sesat karena percaya pada Inkarnasi dan Wihdatul Wujud (persekutuan dengan Allah).

Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang diisyaratkan di dalam sabda Nabi  :
"Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Dilanjutkan ke PART 2
< billaahit taufiq wal hidayah > 

Senin, 20 Desember 2010

Priority levels in learning of Knowledge in Islam Views

 

Keutamaan Ilmu

Dengan ILMU, Allah perlihatkan keunggulan Nabi Adam alaihi salam atas malaikat dan memerintahkan para Malaikat dan Iblis bersujud kepadanya (Al-Baqoroh 2 : 30-34). Sujud disini diartikan menghormati dan memuliakan Adam oleh para malaikat, bukan diartikan menyembah. Dan hanya Iblis yang menolak karena merasa derajatnya lebih tinggi. 

Sesungguhnya mulianya ILMU karena kedudukannya menjadi WASILAH (sarana) menuju kebaikan dan taqwa. Sementara taqwa dan kebaikan menjadikan manusia memperoleh kemuliaan disisi Allah SWT. Sekali lagi, sarana ini (ILMU) tidak dianugerahkan Allah kepada Malaikat dan Iblis.

Ilmu pula yang membedakan manusia dengan semua ciptaan Allah lainnya. Ilmu khusus dimiliki oleh manusia, menjadikannya mempunyai PERADABAN. Semua perkara selain ILMU dapat dimiliki manusia dan hewan seperti tabiat hati : keberanian, kekuatan, belas-kasih, murah hati, marah, sedih dan sebagainya tetapi ILMU tetap milik manusia.

Ilmu Apa Yang Menjadi Prioritas Untuk Dipelajari Lebih Dahulu?

Manusia punya potensi untuk meraih ilmu, artinya ILMU itu harus diraih. Rasulullah SAW pun bersabda : “Menuntut ILMU hukumnya WAJIB bagi setiap muslim laki2 maupun perempuan.”( al-Hadits).

Tetapi, ketahuilah! Tidak diharuskan bagi setiap muslim menuntut segala macam ilmu (ada ilmu yang diharamkan, sihir misalnya). Untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai muslim adalah lebih dahulu menuntut ILMU HAL. Dinyatakan : “Ilmu paling utama adalah ILMU HAL.”

Mendahulukan mempelajari ILMU HAL (secara harfiyah “Ilmu Keadaan” atau “Ilmu Kondisi”)  maksudnya, setiap muslim wajib memprioritaskan mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi TUGAS-TUGAS/KONDISI yang akan dihadapi. (Tugasnya sebagai khalifah di bumi).

Dalam kemaslahatan (kepentingan) agamanya, setiap muslim wajib lebih mendahulukan mempelajari ILMU yang selalu diperlukan dalam melaksanakan kewajiban agamanya yaitu ILMU TAUHID (theologi Islam – Monotheisme dalam Islam) dan ILMU FIQIH. Sepanjang hidupnya pun relevan dan selalu aktual mempelajari dan atau mengajarkanya.

Dua macam ilmu ini tidak boleh diabaikan oleh setiap muslim dan muslimah. Karena ILMU TAUHID akan membimbingnya kepada kehidupan IMAN dan ROHANI-nya. Sedangkan ILMU FIQIH akan membimbing perbuatan jasmani (dalam melaksanakan kewajiban agama).

Ilmu Tauhid menjadikannya mengenal tuhannya, mempercayai (mengimani) Malaikat, Nabi-Rasul, Al-Qur’an dan kitab Allah lainnya, perkara ghaib, hari Qiyamat, Takdir Qodho dan Qodar sebagai dasar-dasar aqidah Islam. 

Karena ia wajib melaksanakan shalat, maka wajib baginya memiliki ILMU FIQIH yang berkaitan dengan shalat, secukupnya guna menunaikan kewajiban shalat tersebut.

Kemudian wajib pula mempelajari ILMU-ILMU yang menjadi sarana dalam menunaikan kewajibannya, karena SARANA pada perbuatan WAJIB maka wajib juga hukumnya. Statemen ini sesuai dengan KAIDAH FIQIH dan bersifat universal. “Sesuatu hal yangmana kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengannya maka hal itu wajib adanya.”

Ilmu sarana yang wajib ini juga berkenaan dengan ilmu untuk seluruh mu’amalah atau untuk penghidupannya seperti ilmu perdagangan dan skill lain agar terhindar dari hal (pekerjaan) yang haram. Sifatnya ada yang fardhu ‘ain (wajib untuk setiap orang) dan fardhu kifayah (seperti ilmu pengobatan/kedokteran, hukum).

Dan terakhir untuk kepentingan agamanya adalah kewajiban mempelajari ILMU TABIAT (Perilaku atau Dinamika) HATI. Misalnya tentang pemahaman tawakkal, inabah, ridho, kosy-yah, roja’, Ikhlas,  dan sebagainya. Dan juga mengenali tabiat hati yang tidak terpuji seperti culas, khianat, marah, iri, tidak dapat dipercaya dan sebagainya.

Beberapa TABIAT HATI secara singkat dapat dijelaskan. Tawakkal berarti sikap hati yang pasrah total  atau menyerahkan segala urusannya kepada kehendak Allah. Inabah berarti retreat (kembali) kepada Allah. Kosy-yah adalah sikap hati yang takut akan dahsyatnya azab Allah. Ridho adalah sikap rela dalam menerima takdir qodho dan takdir Qodar Allah SWT. Roja’ adalah menaruh pengharapan kepada Allah. Dan Ikhlas adalah hati yang menggerakkan untuk berbuat karena Allah ta’ala.

Wallaahu 'a’lam bi shawab

Minggu, 19 Desember 2010

Ilmu Tauhid : Pengenalan Theologi Islam

 

Theologi Islam dikenal dalam beberapa nama, yaitu Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid dan Ilmu Ushuluddin. Untuk selanjutnya kita sebut Ilmu Kalam adalah ilmu yang mampu membuktikan kebenaran Aqidah Islam dan menghilangkan kebimbangan dengan mengemukakan hujjah (dalil) dan argumentasi rasional. Singkatnya adalah ilmu yang memperkuat aqidah Islam di hati dengan dalil kuat dan argumentasi masuk akal.

Kedudukan akal untuk berargumentasi dalam masalah ini hanya membantu memahami dalil masalah aqidah. Sekiranya akal siapa pun orangnya tidak mampu menguraikan kebenaran dalil, maka hal itu karena keterbatasannya sendiri namun harus tetap meyakini kebenaran dalil tersebut. Karena suatu nash Al-Qur’an harus ditafsirkan dengan ayat-ayat lainnya dan hadits-hadits shahih terkait sementara kapasitas ilmu seseorang berbeda-beda.

Disebut Ilmu Kalam karena masalah penting yang dibicarakan mengenai kalaam (firman) Allah yaitu Al-Qur’an.

Ilmu ini merupakan cabang ke-5 dari Ilmu Syari’ah. Pembahasannya menyangkut persoalan aqidah (keimanan – keyakinan) paling mendasar seperti Tauhid atau Monotheism (pengesaan Tuhan), Kehidupan sesudah mati (Alam Kubur, Hari Kebangkitan dan kehidupan Akhirat), Hakikat sifat-sifat Tuhan, Takdir Qodho dan Qodar, Hakikat penciptaan, Hakikat Kenabian, hakikat Al-Qur’an dan makhluk Ghoib (Malaikat dan jin).

Menurut Al Ghozali, Ilmu Kalam bertujuan menjaga aqidah Ahlus-Sunnah dari bisikan Ahlul Bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan aqidah yang benar kepada hamba-Nya melalui perkataan Rasulullah SAW yang mengandung kebaikan bagi agamanya dan dunia.

Ilmu kalam muncul untuk membela agama Islam, menolak bid’ah sesat dan mengantisipasi masuknya unsur-unsur keyakinan dari luar Islam yang akan merusak aqidah. Hal itu tak terhindarkan karena semakin luasnya penyebaran Islam memasuki wilayah-wilayah agama lain membawa implikasi percampuran aqidah Islam (sinkretism) dengan unsur-unsur lain (paganism, helenisme, filsafat yunani, hindu, israiliyyat, kristen) melalui cara infiltrasi, synthesis dan akulturasi.

Faktanya  ancaman tersebut sudah terjadi dan menjadi nyata hingga saat ini. Dalam sejarah Islam ada banyak sekali aliran theologi, baik di kalangan sunni maupun Syi’ah sejak abad 2 Hijrah. Mulai dari Aliran Asy’ariyah, Mujassimah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Jahmiyah hingga aliran yang benar2 keluar dari Islam seperti Ahmadiyah dan Isma’iliyah atau sinkretism kedaerahan seperti Islam Kejawen dan sikh (hindu-Islam).

Pada perkembangannya, usaha penterjemahan buku2 filsafat  yunani  yang dirintis Khalifah Khalid Ibn Yazid (dinasti Umayyah wafat tahun 704 M) membawa arus rasionalisme Islam. Ilmu Kalam pun memasuki persoalan2 filosofis. Pada satu sisi “semangat  Penalaran” memicu perkembangan Ilmu Pengetahuan dimana para Theolog Islam (Mutakallimin)  berperan besar didalamnya. Namun di sisi lain juga melahirkan banyak aliran theologi.

Wallaahu a’lam bi shawab

Pendidikan Jiwa Dalam Perspektif Islam

 

“Charassein” (bhs. Yunani) atau engrave (bhs. Inggris) atau mengukir (bhs. Indonesia) merupakan asal kata “Character”. Membentuk Karakter diibaratkan mengukir diatas permukaan yang sangat keras. Berasal dari arti ini karakter berkembang pengertiannya sebagai “tanda khusus” atau “pola perilaku” suatu individu.

Konsep Karakter versi Barat tidak berbeda jauh dengan Akhlaq dalam perspektif Islam. Pendidikan jiwa manusia mempunyai bobot sangat tinggi dalam Islam. “Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.”

Menurut Imam al-Ghozali (1058 – 1111 M) atau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, akhlak (tabiat) harus menetap dalam jiwa dan perbuatan muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran mendalam atau penelitian dahulu.

Akhlak bukan “perbuatan”, bukan  “kekuatan” dan bukan pula “ma’rifat” (pengetahuan yang mendalam).  Yang lebih sepadan dengan akhlak adalah “hal” (bhs. Indonesianya “keadaan”) atau kondisi kejiwaan yang bersifat bathiniyah. (sumber : Ihyaa uluumuddiin jilid 2, hal.599).

Ibnu Miskawaih (932 – 1030 M) ulama yang mendalami filsafat etika (Islam) dalam bukunya berjudul “Tahdzib al-Akhlaq” mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas2 akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan2 nyata secara spontan.

Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak secara spontan tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” Ia menyebutkan ada 2 sifat yang menonjol pada jiwa manusia. Yaitu sifat jiwa yang buruk dari jiwa pengecut, sombong dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas dari jiwa pemberani, adil, pemurah, sabar, tawakal dan kerja keras.

Tujuan pendidikan jiwa ini untuk mencapai derajat muslim yang baik. Yaitu  memiliki Akhlaqul-Karimah dalam interaksinya dengan sesama manusia, bahkan kepada hewan (termasuk adab tidak menyiksa dan cara menyembelih dengan pisau sangat tajam) dan juga kepada alam.

Banyak sekali ayat al_Qur’an dan hadits Nabi  yang memberi tuntunan nilai moral menuju akhlak terpuji (Akhlaaqul Karimah). Menjadikan Islam kaya dengan sumber referensi yang sangat2 terjaga authentitasnya dalam pendidikan jiwa umat Islam seluruh dunia.  

Ada landasan fondasi yang sama antara Character Building model barat dengan model “li utammima makarimal akhlaq” (untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”) yaitu pengembangan jiwa manusia. Yang menjadikan berbeda adalah pembentukan akhlaq umat Islam memiliki dimensi akhirat yang transendental.

Wallaahu a’lam bi shawab

Jumat, 17 Desember 2010

Justice of Allah SWT between the views of sect Mu'tazilite and Sect Ash'arite

 

Arus rasionalisasi dalam Islam diawali oleh usaha penterjemahan literatur filsafat Yunani (seperti Socrates dan Plato) pada awal abad 8 M (704 M), telah memicu pemikiran kritis terhadap ajaran Islam. Tinjauan filosofis pun menjamah tentang Allah SWT.

Fenomena ini melahirkan ilmu Kalam (Theologi Islam). Awalnya tujuan para theolog Islam (Mutakallimin) untuk membentengi aqidah Islam dari masuknya unsur2 asing. Seperti Hasan Asy’ari merumuskan masalah ketuhanan  yang di kalangan pengikutnya saat ini disebut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (dianut kaum Sunni). Aliran Asy’ariyah berpendapat Allah dalam berkehendak dan berkuasa bersifat mutlak (absolut).

Wacana BARU Washil ibn Atho’(pendiri sekte Mu’tazilah) sangat berbeda dengan tradisi aqidah yang diajarkan Nabi SAW. Ia melahirkan pandangan bahwa : perbuatan dan kehendak Tuhan TIDAK absolut.

Aliran Mu’taziliyah (arti harfiyahnya “memisahkan diri”) muncul di Basra, Irak, abad 2 H, bermula dari tindakan Washil bin Atho' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al_Bashri karena perbedaan pendapat. Pendapatnya bahwa muslim yang berdosa besar bukan mukmin lagi dan bukan pula kafir tetapi ia fasik. Sementara gurunya berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.

Paradigma baru diatas memunculkan ajaran2 baru dalam aqidah umat Islam. Rasionalisasi (akal) telah merasuk terlalu jauh dalam memikirkan zat Tuhannya. salah satu ajarannya adalah – Sholah wal Ashlah (secara harfiyah berarti “baik dan terbaik”).

Perdebatan Di Sekitar Keadilan Tuhan

Issue Keadilan Tuhan untuk pertamakalinya muncul ke permukaan karena kaum Mu’tazilah telah menjadikannya sebagai salah satu ajarannya. Bahkan mereka menyebut diri mereka “Ahlul Adli”, yaitu golongan yang mempertahankan Keadilan Tuhan.

Ajaran Sholah wal Ashlah

Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa semua perbuatan yang berhubungan dengan manusia ditentukan berdasarkan kemashlahatan manusia atau berdasarkan hikmah dan tujuan. Singkatnya semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat bagi makhluk-Nya.

Untuk itulah Tuhan berkewajiban berbuat baik (sholah) dan terbaik (ashlah) kepada mackhluk-Nya (manusia) dalam arti seluas-luasnya, yaitu termasuk mengirimkan Rasul dan memberikan daya kepada manusia untuk melaksanakan kewajibannya. Sebab Dia tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul oleh kemampuan manusia. (QS. Al_Baqoroh 2 : 286).

Ajaran “sholah wal ashlah” milik Mu’tazilah menyatakan bahwa mereka mensucikan Allah dari perbuatan buruk. Tuhan tidak menghendaki kejahatan dan segala perbuatan buruk lainnya. Dan semua perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik. 

Lalu darimana datangnya perbuatan buruk manusia? Manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan buruk, maka ia harus bertanggungjawab penuh terhadap semua perbuatannya.

Keterkaitan Ajaran Sholah dan Ashlah Dengan Konsep Keadilan Tuhan

Keadilan Tuhan mengandung arti semua perbuatan Tuhan baik dan terbaik bagi manusia, dan Dia tidak mengabaikan kewajiban2 kepada makhluk-Nya (manusia).

Tuhan tidak berbuat buruk. Allah tidak bersifat zholim (aniaya). Dia tidak menghukum anak seorang musyrik karena dosa orangtuanya. Ia juga tidak menghukum orang yang taat kepada-Nya dan juga tidak memberi pahala kepada orang yang mendurhakai-NYa.

Menurut Mu’tazilah, Tuhan Adil adalah Tuhan yang berbuat semestinya (menurut Harun Nasution “Tuhan yang konstitusional” – taat kepada aturan-NYa sendiri).  yaitu menghukum dan memberi pahala kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.

Kesimpulan :                                                                                                 (1).   Kaum Mu’tazilah dengan akal bebasnya telah tersesat jauh sehingga dengan kelancangannya menggugat kehendak dan kekuasaan mutlak Allah. (2).   Ajaran Keadilan Tuhan dan “Sholah wal Ashlah”   cenderung memandang dari sudut pandang kepentingan manusia. (3).   Mu’tazilah berlepas diri dan samasekali tidak terikat dengan paham Kehendak dan Kekuasaan Mutlak  Allah SWT.

Wallaahu a’lam bi shawab

Rabu, 15 Desember 2010

Deskripsi Tafsir Ayat-ayat Al-Fatihah Murtadho Muthahhari

clip_image002[4]

 

 

 

 

 

 

“Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim”  “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi  Maha Penyayang”                         Ayat 1

Mulailah pekerjaan dengan Basmallah’, Apa maksud dan tujuannya? Agar setiap perbuatan ada sentuhan sakral (terhubung dengan Allah) dan diberkati atau perbuatannya menjadi suci dan memiliki nilai amal saleh.

*) “Dengan Nama” atau “Bi-ismi”

Dilarang mensejajarkan nama makhluk dengan Allah. Jika Allah disebut, dilarang menyebut nama lain karena berarti Dualisme. Sering perbuatan dimulai dengan ucapan “atas nama rakyat”,“demi cinta” atau “demi …”  daripada “dengan nama Allah.” sementara Allah telah memerintahkan agar nama-Nya selalu disebut dan dilafadzkan dalam dzikir.

*) “Allah”

Nama bisa berupa simbol (lambang) atau kata bermakna. Meski dengan  kata bermakna, kadang artinya belum diakui umum atau tidak menerangkan sifat sesungguhnya tetapi hanya alat pengenal. Contoh orang bernama “Saleh” tapi perilakunya sama sekali tidak menunjukkan kesalehan atau “Muslim Wijaya” tetapi orang cina penganut Kong Hu Cu. 

Idealnya nama menerangkan bagaimana sifat pemilik. Begitulah dengan nama-nama Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an (Asma’ul Husna) mewakili hakikat suci dan di setiap nama-Nya menunjukkan satu bagian kesempurnaan-Nya.

Lafadz “Allah” berasal dari akar kata A-Lah atau Wa-Lah. Apabila berasal dari akar kata A-Lah (Sembah) maka memberi kesan adanya SATU Hakikat patut disembah karena kesempurnaan-Nya. Dan bila  dari akar kata Wa-Lah (Ketakjuban), menyiratkan  semua nalar takjub pada hakikat-Nya yang Maha suci (SubhaanaAllah).

Imam Sibawaih, ahli tatabahasa dan sintaksis (Nahwu shorof), menegaskan bahwa “Wa-Lah” merupakan akar kata Allah, maka : Allah berarti  Hakikat satu-satunya Zat patut disembah dan dengan segala kesempurnaanNya semua nalar  secara tak sadar takjub kepada-Nya.

*) “Ar-rahmaan Ar-Rahiim”

Maha Pengasih dan Maha Penyayang tentu saja berbeda dengan sifat Dermawan dan Penyayang yang dilekatkan pada sifat baik manusia. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

*) “Ar-Rahmaan(“Maha Pengasih”).  Ar-Rahmaan berarti kekuasaan tidak terbatas yang menjadi karunia dan bisa dinikmati oleh semua makhluk. “Rahmat-Nya melingkupi segala sesuatu” (al‘Araf 156). Apapun ada karena karunia-Nya sehingga Implikasinya : 1). .–  Ada kebutuhan luarbiasa pada semua makhluk sehingga mereka .memohon kepada>Allah.  2). – Allah pun mengirim karunia tak terbatas agar kebutuhan semua makhluk terpenuhi. 3).  –  Rahmat Allah bersifat Universal (untuk semua makhluk) dan tidak terbagi dalam dua jenis (yaitu Baik dan Buruk) karena semua karunia Allah baik dan diberkati, untuk semua makhluk (beriman, kafir, hewan maupun tumbuhan ataupun ciptaan Allah lainnya).

*) “Ar-Rahiim” “Maha Penyayang”

Ar-Rahiim berarti Dia memberi rahmat khusus (belas kasih) hanya kepada mereka yang, setelah melalui keimanan dan amal saleh, menempatkan diri sebagai hamba taat. Rasa sayang manusia ada jika tersentuh hati (iba) pada keadaan makhluk lain yang membutuhkan.

“Al-Hamdu lillaahi-r-Robbi-l-‘Alamiin“ Segala Puji Bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam”                                         Ayat 2

*) “Al-Hamdu”

Hamd mencakup arti Madh (Pujian/sanjungan), Syukr (Rasa terimakasih) dan Ibad (Penyembahan). Jika masing-masing arti berdiri sendiri tidak memberi pengertian penuh (tepat), Karena makna Hamd yang Artinya penyembahan menjadikan makna “Hamd” hanya dikhususkan bagi Allah.

Arti Madh : ungkapan perasaan khas manusia yang tampak saat dihadapkan keindahan, keanggunan, kesempurnaan, kebesaran dan keagungan. Perasaan hanyut melihat keindahan Qur’an tulisan tangan hingga meluncur pujian tulus. Saat ditanya : “Mengapa memuji padahal tak ada upahnya?” Dijawab: “Apakah pujian harus dapat imbalan?” Akal harus merasa rendah dihadapan nilai-nilai diatas dan cara mengekspresikannya dengan ‘Pujian’. inilah arti sebenarnya Madh. Sebaliknya untuk diartikan ‘sanjungan’ konotasinya negatif yaitu memuji tidak sesuai keadaan sebenarnya atau karena dorongan ketamakan.

Syukr juga perasaan khas manusia.  “balasan kebaikan adalah kebaikan”(QS 55:60). Anda bertemu orang bersifat baik yang memenuhi kebutuhanmu tanpa menunggu dimintai tolong, timbul rasa terimakasih dan rasa rendah menghadapi kemuliaannya. Maka jika ada kesempatan Anda pun berusaha memuji, merasa lega dan senang hati karena telah mengekspresikan perasaan. Ini yang dimaksud Madh dan Syukr sekaligus.

*) “Al-Hamdu lillaah” “Segala Puji Bagi Allah”

HAMD sekaligus berarti SYUKUR, PUJIAN dan PENYEMBAHAN. Syukur sebab Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala Puji bagi Pemilik Hakikat Kesempurnaan, Keagungan, merasa rendah di hadapan Kebesaran-Nya. Penyembahan pun hanya kepada satu-satunya Zat layak disembah.

Tidak setiap hati diberi kemampuan memuji sekaligus diliputi syukur dan tunduk menyembah Allah.  Imam Ali ra Berkata : “Ya Allah, aku menyembah bukan karena mengharap surga-Mu; dan bukan pula karena takut api neraka-Mu. Meski Engkau tidak menciptakan surga dan neraka; aku tetap menyembah-Mu. ...karena Engkau sebagaimana adanya, dan Engkau patut disembah.” (dinukilkan dari kitab Nahjul Balaghah)

*) “Robbi-l-‘alamiin” “Tuhan Seru Sekalian Alam”

Arti “Robb” : Tuhan; Pendidik; Pemelihara dan Penguasa. Makna Robb : Tuhan Penguasa mutlak, Pendidik sempurna dan Pemelihara yang tidak ernah tidur dalam menjaga seluruh makhluk-Nya.

Dunia tak kekal, selalu berubah dan berkembang, sunatullah mengatur sistem alam semesta seisinya. Dunia seperti lahan pertanian dimana setiap bibit dapat tumbuh, yang bersifat baik akan mencapai kesempurnaan dan yang buruk pun tetap tumbuh berkembang. Dunia diciptakan penuh gangguan dan bibit yang ditanam mungkin memberi hasil atau tidak sama sekali. Orang kafir dapat saja mencapai tujuan dengan rencana baik, tapi bukan berarti itu jadi bukti kebenaran.

Seperti diungkap dalam Al-Qur’an :

“Bagi golongan pertama (I) yang menginginkan kenikmatan dunia maka disegerakan baginya apa saja yang Allah kehendaki untuk diberikan kepada mereka yang Dia kehendaki dan ditetapkan baginya neraka jahanam. Bagi golongan kedua (II) orang beriman yang menginginkan kehidupan akhirat dan berusaha sungguh-sungguh akan diberi ganjaran baik. Kepada masing-masing golongan Allah berikan bantuan dari kemurahan-Nya yang tidak dapat dihalangi.” (Al-Isra’ 18-20)

“Ar-rahmaani-r-Rahiim”Maha Pengasih Maha Penyayang Ayat 3

Maha Pengasih. Mengenal sifat ini perlu penalaran, prasangka baik dan pengetahuan alam semesta, tujuannya : 1-). Menghilangkan syirik di hati, 2-). Menghindarkan kecenderungan membagi ciptaan dan kejadian di dunia menjadi sisi baik dan sisi buruk padahal semua itu kehendak-Nya. Ia harus lebih mempertimbangkan bahwa semua eksistensi merupakan manifestasi sifat Maha Pengasih. Atau lebih jauh lagi. 2-). Menghindarkan diri dari Berburuk Sangka kepada Allah ta’ala.

Sesungguhnya baik-buruk, bersifat relatif di pikiran manusia saja, bukan bagian eksistensi dan sifat Allah. Saling memangsa di dunia hewan wajar untuk keseimbangan rantai makanan, tapi dianggap keji jika dilakukan manusia. Maka keharusan hati, akal dan pikiran untuk menghapus prasangka buruk pada Allah adalah masalah aqidah.

Penyakit, musibah, bencana dan kematian adalah bentuk sifat Pengasih-Nya. Hukuman dunia dan akhirat adalah keadilan Ilahi. Jangan seperti orang Yahudi yang lebih menekankan sifat kuasa dan dendam pada sifat tuhannya, Yehova. Itu sebabnya frase “Dengan nama Allah” diikuti frase “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” bukan “Yang Maha Kuasa dan Yang Mendendam”.

Memuji Allah juga harus dikaitkan dengan sifat Maha Pengasih (pujian harus disertai rasa syukur, tunduk merendah diri dan menganggap semua eksistensi sebagai anugerah kebaikan-Nya).

Sifat Maha Penyayang. Mengenal sifat ini bergantung pada pengetahuan menyeluruh tentang kedudukan manusia diantara makhluk lain (hakikat manusia). Manusia adalah makhluk paling utama dan Al-Qur’an menyebut khalifah di bumi. Ia makhluk bermasyarakat, fitrahnya bertauhid (al-‘Araf 172), berpikir, praktis (mempraktekkan pemikiran) dan jika sifat ini kurang lengkap maka ia tak sempurna. Ia mencapai derajat pertumbuhan intelektual sedemikian rupa sehingga bebas memilih jalan hidup. Jika memilih jalan lurus menuju Allah ada balasan baik di akhirat, mendapat pertolongan-Nya, dijamin rizki, meraih derajat ketaatan dan penyerahan diri.

Rasa Sayang dari Allah Maha Penyayang hanya diberikan kepada hamba-Nya di alam kubur, sebelum anugerah besar di akhirat. Seperti orang mati syahid, ruhnya tetap hidup dan memperoleh rizki di sisi-Nya. Sedang rasa kasih dari Allah Maha Pengasih dihubung-kan dengan masa di dunia dan diberikan kepada semua makhluk, baik beriman maupun kafir bahkan kepada hewan dan tumbuhan.

Hamba yang saat berdoa memahami Allah Maha Penyayang, memperlihatkan ia bukan hanya mengerti seluruh penciptaan sebagai manifestasi sifat Maha Pengasih, lebih dari itu, ia juga meyakini kembali kepada-Nya (berserah diri dalam doa, menghadapi penyakit atau musibah) juga merupakan anugerah. Karena semua itu menghantarkannya mendapat kasih dan sayang-Nya.

“Maaliki yaumi-d-Diin” “Penguasa hari pembalasan”    Ayat 4

“Malik” dapat dibaca dengan 2 cara ; ‘Maalik’ (Pemilik)’ dan ‘Malik’ (Penguasa), jika kedua cara ini dilekatkan pada manusia sifatnya artifisial, karena Allah-lah Pemilik dan Penguasa sebenarnya. Pada hari pembalasan Allah menunjukan siapakah Pemilik dan Penguasa sebenarnya? Dia Penguasa dan Pemilik seluruh ekistensi.

“Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu (pula) kami memohon pertolongan“                                                               Ayat 5

Islam sepenuhnya agama monotheisme (mengesakan Allah) disemua aspek kehidupan; kepercayaan; pendidikan; moral; kemasyarakat-an; sikap-perilaku; perdagangan; peradaban dan sebagainya semua terkandung nilai2 amaliyah ditujukan kepada Allah Yang Maha Esa.

*) “Iyyaaka na’budu ...“ “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah ...“

Frase ini menyiratkan Islam agama yang mengesakan tuhan (monotheisme). Ada 2 monotheisme : Teori dan Praktek.

Teori Monotheisme

Dalam teori monotheisme, pengakuan pentauhidan Allah dikuatkan dengan pemikiran, yakni memahami Allah satu-satunya Hakikat yang patut disembah. Maksud pembahasan ini adalah bahwa Fatihah ayat 1-4 terkait dengan monotheisme di tingkat pemikiran. Semua kata dan kalimat berhubungan dengan pemahaman tentang : 1-) Allah khas dalam sifat, tindakan dan hakikat-Nya patut disembah dan hanya bagi-Nya segala puji dan syukur harus ditujukan, 2-) Hakikat semua eksistensi (alam seisinya dan akhirat) sebagai rahmat-Nya.

Inilah mukjizat Al-Qur’an, masalah tauhid yang tinggi dan mendasar hanya teringkas dalam kata-kata yang sangat sedikit. Manusia diminta merenungkan artinya dan bukan hanya mengulang-ulang bacaan 4 ayat ini dalam shalatnya. Memang dengan memanggil Allah dengan sifat-sifatNya dalam shalatnya hamba yang beriman, maka sesungguhnya ia berusaha memahami Hakikat yang patut disembah. “bersujudlah kamu hingga datang keyakinan.”

Praktek Monotheisme

Praktek monotheisme adalah membuat orang bergerak menuju Allah dan ini terkait erat dengan ayat 5-7 Al-Fatihah. Jika dengan kesadaran berkata “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” sesungguhnya kita mulai melakukan praktek monotheisme dan beriman dalam arti khusus. Kemudian di luar shalatnya dibutuhkan kepatuhan atau ketaatan.

Tha’at kepada Allah adalah dengan menunjukkan ketundukan, lembut, patuh menjalankan perintah-perintahNya, tidak menunjukkan keingkaran, pemberontakan kepadaNya. Pada waktu yang sama juga  menunjukkan ketidakpatuhan, penolakan dan pemberontakan pada segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan Allah. Singkatnya, ketundukan mutlak kepada Allah dan juga pemberontakan mutlak kepada selain Allah.

Praktek mengesakan Allah menuntut ketaatan kepada perintah-Nya dan mereka yang Dia perintahkan untuk ditaati dan menolak selain dari itu. Seperti mentaati Nabi adalah kewajiban, mentaati Imam yang menegakkan syari’at dan Ulama yang faqih (sangat paham), saleh dan berakhlak baik adalah sesuai perintah-Nya seperti juga mentaati Ulil Amri (pemerintah) selama tak bertentangan Islam.

Dualisme Adalah Lawan Dari Monotheisme Islam

Dualisme adalah pengakuan bertuhan satu tetapi masih menuhankan tuhan lain atau banyak tuhan (politheisme). Banyak ayat al-Qur’an yang mengungkap adanya dualisme atau politheisme, diantaranya :

1-). “Pernahkah kamu menyaksikan orang yang menjadikan hawa    nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS, 25:43).  2-). “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (QS. 9;31)

Ini adalah celaan Al-Qur’an kepada kaum Yahudi dan Kristen yang awalnya mengesakan Allah lalu melakukan penyimpangan. Memang mereka tidak merendahkan diri seperti si Penyembah berhala tetapi mereka taat dan tunduk membabi-buta kepada orang-orang pandai dan rahib-rahib atau patuh dan tunduk pada angan-angan dan nafsu panutan mereka. Padahal ketaatan hanya untuk Allah dan kepada mereka yang Dia perintahkan untuk ditaati.

3-). Katakanlah : “Wahai Ahlu-l-kitab marilah pada suatu ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS. 3;64)

Kesimpulannya :  Tidaklah cukup monotheisme hanya di tingkat pemikiran saja. Setelah memahami Allah dalam hakikat, sifat dan tindakan-Nya seorang hamba Allah juga harus taat dengan kepatuhan dan ketundukan serta menjauhi larangan-Nya.

*)“... wa iyyaaka nasta’iin” “...dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”

Ada polemik mengenai apa yang disebut oleh para Penggugah Semangat dalam kursus pengembangan kepribadian di dunia sekuler yang disebutnya sebagai “Percaya Diri.”  Mereka mengajarkan bahwa bergantung pada sesuatu diluar dirinya menyebabkan sifat lemah dan ketergantungan. Katanya orang tidak boleh menyandarkan diri pada Tuhan dan percaya diri sekaligus. 

“Percaya Diri” memang dapat membangun dan menghidupkan kekuatan diri tetapi tidak boleh berlebihan, sebab banyak orang terpelajar atau kaum intelektual  telah meniadakan ketergantungannya pada Allah. Dianggap tidak modern, rasional dan menyebabkan “tidak PD”. Jargon mereka “Gue Banget” di MTV.

Sikap yang benar adalah manusia harus menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah dan menganggap semua yang ada (termasuk orang lain) hanya sarana. Kekuatan, akal, keteguhan, watak dan sikap positif adalah sarana pribadi karunia Allah. Meminta tolong dan bergantung pada orang lain boleh karena manusia diciptakan saling bergantung dalam bermasyarakat dan menyarankan kerja-sama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Manusia punya kekuatan tetapi kekuatan Allah-lah yang orang dapat bergantung tanpa cemas. Ingat! Allah pencipta manusia dan semua sarana.

“Ihdina-sh-Shiraatha-l-Mustaqiim”“Tunjukilah kami pada jalan yang  lurus”                                                                             Ayat 6

Jalan yang membawa manusia kepada Allah adalah jalan kesempurnaan(jalan lurus). Ia bebas memilih, tapi memilih jalan lurus harus dicari, maka diutuslah para nabi pembawa petunjuk. Manusia dilengkapi kecakapan bawaan memilih dan punya perbedaan mendasar dibanding makhluk lain (Malaikat, jin, hewan dan tumbuhan atau ciptaan Allah lainnya) yang tanpa pilihan jalan menuju Allah sebagaimana manusia.

“Shiraatha -l- ladziina an ’amta ‘alaihim ghairi -l-maghdhuubi ‘alaihim wala -dh- dhaaliin.” “Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai   dan bukan pula jalan yang sesat”                             Ayat 7

Menurut pemilihan jalan hidupnya dan hasil ibadahnya, manusia dibagi 3 kelompok :

(1) Mereka karena ibadahnya, mendapat rahmat khusus, selalu diberi nikmat dan dimuliakan Allah.

(2) Kafir-ingkar diperlakukan dengan murka Allah dan kehilangan jalan kesempurnaan sama sekali.

(3). Orang-orang yang ragu dan memiliki jalan yang tidak pasti, kebingungan. (jalan yang sesat).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More