Google Translate to

Indo
Tampilkan postingan dengan label Mendidik Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mendidik Anak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Februari 2011

Membaguskan Hati dan Akhlak Anak - Membatasi Pergaulan Buruk (Part 1)

 

Ilmu Perilaku Hati

Akhlak terpuji adalah tabiat hati yang sesuai dengan nilai agama dan menjadi perilaku spontan (tanpa lebih dahulu perlu dipikirkan atau ditelaah mendalam).  Akhlak produk dinamika hati, sementara sifat hati  selalu berubah-ubah, maka pembentukan akhlak anak membutuhkan bimbingan, pengajaran, keteladanan dan pengawasan berkelanjutan dan tidak kalah pentingnya membatasi pengaruh pergaulan buruk.

Pengajaran Akhlak merupakan bagian Ilmu Perilaku Hati  dalam Pendidikan Jiwa. Ilmu Perilaku Hati mencakup pengenalan sifat tawakkal, wara’, zuhud, ihsan, ridho, sabar, inabah, ikhlas, khusyu’, roja’, kosy-yah, istiqomah dan lainnya yang lebih ditujukan kepada Allah.  Pendalamannya pun melalui pengajaran TASAWWUF atau SUFI. Dalam kitab “Al-Hikam” disebutkan puncak akhlak adalah IHSAN (ma’rifat Allah – mengenal Allah secara mendalam). Suatu Ilmu yang sangat dibenci oleh kaum Wahabi.

Ilmu Perilaku Hati juga mengajarkan sifat amanah, ‘iffah, berani, jujur, pemurah, penolong, penyayang, menjaga air-muka, bekerja keras dan lainnya yang lebih ditujukan kepada sesama makhluk (termasuk kepada binatang, tumbuhan dan alam seisinya).  Sebab ISLAM mengajarkan untuk menyayangi binatang dan melarang menyiksanya.  ISLAM juga melarang  berbuat kerusakan di muka bumi dan menyuruh menjaga kelestarian alam. Secara umum kita pun menyebutnya Ilmu Akhlak.

tujuan Ilmu Akhlak adalah membentuk perilaku yang terpuji sebagai refleksi “hati yang sehat”, maka ia pun mengenalkan sifat-sifat buruk untuk menghindari bahayanya seperti tidak dapat dipercaya (khianat), kikir, boros, malas, tidak jujur, penakut, rendah diri, sombong dan sifat-sifat buruk lain produk dari “hati yang sakit”.

Sifat buruk tersebut diharamkan dan jalan menuju azab Neraka. Dan tidak mmungkin menghindari sifat buruk tersebut kecuali dengan mengetahui ilmu. Fungsi mempelajari ilmu akhlak dan melatihnya untuk mengantisipasi kecondongan hati (yang suka membolak-balik) kepada sifat-sifat buruk.

Maka wajib pula hukumnya setiap muslim mempelajari Ilmu Akhlak atau lebih jauh lagi Ilmu Perilaku Hati dalam konteks ISLAM. “Tidaklah aku (Muhammad SAW) diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak.”

Membatasi Pengaruh Buruk

Semenjak janin usia 120 hari, saat ditiupkan rohnya dan diambil persaksian fithroh Tauhid (mengesakan Allah) (al-A’raf 172). Sejak itulah jiwa manusia bisa menerima pengajaran dan hal lain yang mempengaruhinya.  Maka   dianjurkan sering2-lah ibunya memperdengarkan Qur’an dan mengajak bicara. Kedokteran pun menyarankan memperdengarkan musik lembut.

Saat lahir bayi pun menangis keras karena tamparan setan. Dan tidaklah selamat dari tamparannya kecuali Nabi Isa as dan ibunya Siti Maryam as. Hal itu karena Allah SWT telah melindungi ibu dan anak seperti pada ayat (Al-Imron 3:36) berkenaan dengan istri Imron (orangtua siti Maryam as).(kitab Sabiilul Id-dikaar, p.25-26). Disunnahkan segera diperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri untuk mengingatkan kembali kesaksian fithroh di atas.

Rabu, 09 Februari 2011

Bagaimanakah Cara Meraih Kebahagiaan ? ( Bagian 1)

 

Seorang wanita yahudi Professor Senior bidang Sosiologi di New York University (NYU) suatu siang, 26 April 2010, sebelum dzuhur datang ke Islamic Cultural Center of New York untuk janji pertemuan dengan Imam Masjid yang berasal dari Indonesia, M Syamsi Ali. Wanita 40-an tahun yang terlalu muda untuk status profesional ini tidak sabar bertemu yang seharusnya pukul 13.30 siang itu.

Professor Karen Henderson datang dengan harapan  ada solusi atas masalah yang sangat mengganggu pikirannya yang ia bawa sejak penelitian sosiologis dan tinggal di Afghanistan – Pakistan selama 3 tahun.  Dalam pengakuannya saat dialog kemudian, ia mengaku sangat takjub melihat kehidupan di Afghanistan - Pakistan. Takjub yang menghantarkan  pada hidayah dan menjadikan siang itu selepas shalat Dzuhur menjadi mualaf dan meninggalkan keyakinan aslinya, Agama Yahudi.

Kembali ke Karen, saat dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, negara Eropa, dan Asia , termasuk Asia Selatan.

"Tapi satu hal yang harus aku ceritakan, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.

“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” 

"Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”

"Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,” ujarnya seolah bernada marah.

Tiba-tiba ia meneteskan airmata di tengah dialog, tapi sambil melempar senyum berujar :  “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,” 

Begitulah cuplikan yang diceritakan oleh Imam Masjid New York dalam rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com  (Dialog lengkapnya akan saya lampirkan pada PART 2).

 Hakikat Kebahagian Sejati

Islam mengajarkan konsep kebahagiaan sejati adalah apabila hatinya dipenuhi kecintaan yang kental kepada ALLAH SWT dan RASULULLAH SAW. Jika puncak kebahagiaan ini diraih, maka hatinya tidak lagi berpaling kepada yang lain. Sepanjang hidupnya hanya ingin bertemu kepada yang dicintainya ini kelak di akhirat – kehidupan sesudah datangnya kematian. YA … kebahagiaan sejati ada di akhirat.

Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di dunia ini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada tempat di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi. Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup sepenuhnya,  tidak peduli seberapa buruk  situasi yang melingkupi kehidupan itu sendiri. Itulah kebahagiaan yang dilandasi kebenaran IMAN.

Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim as, Ibrahim berkata : "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah pun seketika menjawab, "Pernahkah engkau  melihat seorang sahabat yang tidak suka untuk melihat sahabatnya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."

Imam Ghozali dalam kitab Kimiyatus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) menyatakan    :  “Ketahuilah manusia dijadikan tidak untuk "sia-sia" saja.
Tetapi dijadikan untuk tujuan besar dan mulia.  Meskipun manusia tidak Qadim
(kekal dan azali lagi),  namun ia kelak hidup kekal selama-lamanya (di surga atau neraka). 

Meski badannya kecil dan berasal dari bumi,  namun Ruh atau Nyawa adalah tinggi dan berasal dari sesuatu yang bersifat Ketuhanan.  Apabila hawa nafsunya dibersihkan sebersih-bersihnya,  maka ia akan mencapai taraf paling tinggi dan tidak lagi menjadi hamba kepada hawa nafsu rendah.  Ia akan mempunyai sifat-sifat seperti Malaikat.

Dalam peringkat yang tinggi ini,  didapatinya surganya adalah dalam bertafakur mengenang Allah Yang Maha Indah dan Kekal Abadi.  Ia tidak lagi tunduk kepada kehendak-kehendak kebendaan dan nafsu semata-mata.  Al-Kimiya Keruhanian yang membuat pertukaran ini.

Tinjauan Sekilas Kitab Kimiyatus Sa’adah

Kimia Kebahagian ini ringkasnya berpaling dari dunia dan menghadap kepada ALLAH Subhaanahu wa Taala.  Bahan-bahan Kimia ini adalah empat   :  1.  Mengenal Diri                         2.  Mengenal Allah
                 3.  Mengenal Dunia ini Sebenarnya (Hakikat Dunia)
                 4.  Mengenal Akhirat sebenarnya (Hakikat Akhirat)

Allah SWT telah menurunkan ke bumi 124,000 nabi untuk mengajar manusia tentang bahan-bahan Al-Kimia ini.  Bagaimana hendak menyucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah dan keji itu. Dan ajarannya pun diwariskan kepada Ulama-ulama yang wara’ atau wali-wali kekasih Allah.

Tujuan atau puncak dari Kimia Kebahagiaan ini adalah mencapai Maqam Mahabbah;  puncak tertinggi kebahagiaan yang ingin dimiliki oleh orang-orang yang Mengenal Allah. Singkatnya mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, bukan karena sebagai kewajiban.

Cinta itu sendiri apa? Cinta adalah kecenderungan pada sesuatu yang menyenangkan, sebagaimana panca indera, kesenangan telinga kepada alunan musik, kesenangan lidah pada rasa enak yang semuanya juga dimiliki oleh hewan. Namun pada manusia ada indera keenam yang tidak ada pada makhluk lainnya, yaitu Persepsi yang ada di hati. Dengan Persepsi ini kita menyadari suatu keindahan dan keunggulan ROHANI.

Maksudnya orang yang hanya akrab dengan kesenangan dunia (inderawi) tidak akan bisa memahami maksud Nabi SAW,  saat bersabda bahwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meski keduanya  juga menyenangkan baginya. Orang  yang mata-hati(persepsi)nya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya mengakrabi kesenangan inderawi (dunia)  berkata :   “keindahan seseorang ada pada kulit putih, tubuh  serasi dan seterusnya.”  Sebaliknya ia buta terhadap keindahan sifat-sifat yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.

Adapun orang yang memiliki persepsi lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang mulia yang telah jauh mendahului kita - seperti para nabi dan orang saleh - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meski sudah meninggal ribuan tahun. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah.

Saat kita ingin membangkitkan rasa cinta di hati seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan tubuhnya atau harta yang dimiliki, melainkan diuraikan kunggulan ruhaniah dan sifat mulianya.

Sebab-Sebab Yang Dapat Membangkitkan Kecintaan

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri.

Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah,  karena  keberadaan dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil ke dunia secara kasat mata. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah.

Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak berterimakasih kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.

Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Karenanya ia pasti mencintai Allah kalau saja bukan karena  sikap masa-bodohnya  terhadap Allah. Orang bodoh juga tidak bisa mencintai-Nya, karena cinta kepada Allah memancar langsung dari pengetahuan tentang Allah. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan ?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah.

Kebaikan apapun yang diterima dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apapun yang menggerakkan orang memberi kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan memperoleh
pahala / nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.

Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.

Allah berfirman kepada Nabi Daud, "AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah ?"

Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah.

Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw :
"Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Lebih jauh lagi Allah telah berfirman :

"Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya."

Juga Allah berfirman kepada Musa as. :

"Aku pernah sakit tetapi engkau tidak menjengukku ! "

Musa as menjawab : "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?"

Allah berfirman : "Salah seorang hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungi-Ku."

Membahas “kemiripan” dalam memahami hadits ini adalah masalah yang sangat krusial dan membahayakan aqidah yang lurus. Terutama berbahaya bagi muslim yang awam atau dangkal aqidahnya. Sebab orang yang cerdas dan juga paham ilmu agama bisa saja tersandung dalam membicarakan soal ini sehingga berpaham sesat karena percaya pada Inkarnasi dan Wihdatul Wujud (persekutuan dengan Allah).

Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang diisyaratkan di dalam sabda Nabi  :
"Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Dilanjutkan ke PART 2
< billaahit taufiq wal hidayah > 

Senin, 07 Februari 2011

Presiden RII Adalah Anak Pandai Besi

 

Ia terlahir sebagai anak pandai besi di Garmsar, daerah kantong kemiskinan, dekat Tehran tahun 1956. Ia juga memegang gelar PhD dalam lalu lintas dan transportasi dari Teheran Universitas Sains dan Teknologi, di mana sampai sekarang masih menjadi dosen disamping sebagai Presiden salah satu negara yang paling keras menentang hegemoni Amerika.      
                                                                                                                           Dia tidak dikenal ketika diangkat sebagai walikota Teheran pada tahun 2003 karena dia tidak suka publisitas. Kemenangannya mengalahkan incumbent presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani tahun 2005 mengejutkan  masyarakat internasional. Dunia mulai mengenalinya sebagai pembela gigih  ulama konservatif dan aktivis Pengawal Revolusi Iran Pasdaran, beraliran garis keras yang populis. 

mahmoud_ahmadinejad_100920190607 Kemampuan retorikanya sangat kuat terbukti mampu mengimbangi tekanan Dunia Internasional (lebih tepatnya Amerika dan sekutunya) terhadap program nuklir Iran. Ia mampu membuat geram negara2 pendukung Israel dengan pandangannya            “Holocaust adalah Mithos”  dan membina kekuatan aliansi dengan Venezuela, Cuba dan negara2 yang tidak menyukai hegemoni Amerika.

Dana kampanyenya tidak banyak untuk posisi presiden tahun 2005 – namun didukung kekuatan konservatif kuat yang memanfaatkan jaringan masjid untuk memobilisasi dukungan. Dia juga mendapat dukungan dari kelompok muda revolusioner generasi kedua dikenal sebagai Abadgaran  (“Pengembang”) yang kuat pengaruhnya di Parlemen.

Kampanyenya pun berfokus pada kemiskinan, keadilan sosial dan distribusi kekayaan. Pandangannya sangat populis sampai mewarnai kehidupan pribadinya. Seorang Presiden Penantang Amerika yang benar2 hidup sederhana seperti rakyat biasa yang jauh dari kemegahan dan kemewahan sebagaimana kehidupan sederhana anak tukang besi.

Kesederhanaan Seorang Presiden : Mahmoud Ahmadinejad

image Ahmadinejad, Presiden Iran yang mencengangkan banyak orang ketika menyumbangkan karpet Istana Presiden (tentu berkualitas tinggi) ke sebuah masjid di Teheran. Dan mengganti karpet istana dengan karpet murah.

Mantan walikota Teheran itu juga menutup ruangan kedatangan tamu VIP karena dinilai terlalu besar. Ia lalu meminta sekretariat istana mengganti dengan ruangan sederhana dan mengisi dengan kursi kayu. Sekali lagi fakta yang mengesankan…!

ADRocket2 Dalam beberapa kesempatan Presiden juga bergabung dengan petugas kebersihan kota untuk membersihkan jalan di sekitar rumah dan istana Presiden.

Setiap menterinya sebelum diangkat selalu menandatangani perjanjian dengan banyak ketentuan, terutama yang ditekankan adalah agar setiap menteri tetap hidup sederhana . Seluruh rekening pribadi dan keluarganya diawasi agar mereka dan keluarganya tidak memanfaatkan keuntungan sepeser pun dari jabatannya.

Ahmadijed juga mengumumkan bahwa kemewahan terbesar dirinya adalah mobil Peogeot 504 buatan tahun 1977dan sebuah rumah kecil warisan ayahnya 40 tahun lalu yang terletak di salah satu daerah miskin di Teheran. Rekening tabungannya nol dan penghasilan yang diterima hanyalah gaji sebagai dosen sebesar kurang dari Rp 2.500.000,-. (U$ 250)

Presiden tetap tinggal di rumahnya. Satu-satunya rumah miliknya, salah satu presiden Negara terpenting di dunia secara strategi, ekonomi, politik dan tentunya minyak dan pertahanannya.

Ahmadinejad bahkan tidak mengambil gajinya sebagai presiden (yang merupakan haknya). Alasannya seluruh kekayaan adalah milik Negara dan ia hanya bertugas menjaganya.

iran-president-7.jpg

Presiden Republik Islam Iran, Mahmud Ahmadinejad  sedang menikmati makan sehari-harinya di ruang makan  Istana Presiden.

Hal lain yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yang selalu dibawa setiap hari. Isinya adalah bekal sarapan, beberapa potong roti sandwich dengan minyak zaitun dan keju. Ahmadinejad menyantap dengan nikmat makanan buatan isteri. Di saat yang sama ia menghentikan semua makanan istimewa yang biasa disediakan untuk presiden.

Ahmadinejad juga mengalihkan pesawat kepresidenan menjadi pesawat angkutan barang (cargo) dengan alasan untuk menghemat pengeluaran Negara. Presien juga memilih terbang dengan pesawat kelas ekonomi.

Ahmadinejad selalu melakukan rapat dengan para menteri kabinet untuk memantau semua aktivitas. Semua menteri bisa masuk ke ruangannya tanpa harus izin. Ia juga menghapus semua acara seremonial red carpet, foto-foto dan iklan pribadi ketika mengunjungi Negara lain.

Jikalau harus menginap di hotel ia selalu memastikan untuk tidak tidur dengan ruangan dan tempat tidur mewah. Alasannya ia tidak tidur di tempat tidur tetapi tidur di lantai beralaskan matras sederhana dan sepotong selimut.

iran-presiden.jpg
Ahmadinejad tidur di ruang tamu setelah seharian dijaga pengawal kepresidenan. Foto ini dibuat oleh adiknya dan diterbitkan harian Wifaq yang sehari kemudian menyebar di majalah dan Koran seluruh dunia terutama Amerika Serikat.

iran-president-2.jpgSaat shalat berjamaah di masjid Presiden tidak duduk di shaf pertama.

Televisi Fox Amerika pernah bertanya pada Presiden Iran Ahmadinejad : ”Saat anda bercermin di pagi hari, apa yang anda katakan pada diri anda?” Ia pun    menjawab : ”Saya melihat seseorang di  cermin dan berkata padanya ”Ingatlah, anda tidak lebih dari seorang pelayan kecil. Di depanmu hari ini ada tanggung jawab besar dan itu adalah melayani bangsa Iran”.

Ternyata kita masih bisa menemukan Pemimpin Islam yang wara’ tidak tergoda dengan harta dunia meskipun kekuasaan negara ada di tangannya. Kehidupan wara’-nya dan perhambaanya kepada Allah SWT. menjadikan ia berani menantang dunia.

Inilah contoh pemimpin yang lahir dari wanita bersahaja - menghadirkan kesederhanaan di Istana Kepresidenan. Pemimpin yang muncul bukan dari produk sistem feodal karena keturunan, atau klan keluarga penguasa tetapi dari sistem sosial yang menjunjung nilai–nilai Islam yang mulia. Masyarakat yang menjunjung tinggi para ULAMA-nya dan ajaran yang menopang kehidupan intelektual, sehingga anak_anak keluarga miskin  yang cemerlang lebih leluasa melakukan mobilisasi vertikal meraih masa depannya dan tetap menjaga kebersahajaannya. 

Sabtu, 08 Januari 2011

Bagaimanakah Cara Meraih Kebahagiaan ? ( Bagian 2)

 

Berikut ini script dialog bersumber dari rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com. Kisah seorang Profesor Senior wanita Yahudi dari New York University untuk menemukan Kebahagian Sejati dalam pelukan Islam. Setelah 3 tahun melakukan penelitian intensif  kehidupan masyarakat Afghanistan – Pakistan yang menderita akibat selalu di landa perang sejak tahun 1979 dan kemiskinan hingga saat ini. 

Penderitaan Mereka adalah Inspirasi Hidayah

Tuesday, 27 April 2010 17:54

Profesor beragama asli Yahudi ini mengaku takjub melihat kehidupan orang Pakistan dan Afghan. Ketakjuban membawanya menuju Islam.

Oleh: M. Syamsi Ali
clip_image001DUA minggu lalu, selepas Jumat saya menemukan secarik kertas di atas meja kantor saya di Islamic Cultural Center of New York. Isinya kira-kira berbunyi, “I have been trying to reach you but never had a good luck! Would you please call me back? Karen.”

Berhubung karena berbagai kesibukan lainnya, saya menunda menelepon balik Karen hingga dua hari lalu. “Oh! thank you so much for getting back to me!” jawabnya ketika saya perkenalkan diri dari Islamic Center of New York. “I am really sorry for delaying to call you back,” kataku, sambil menanyakan siapa dan apa latar belakang sang penelpon.

“Hi, I am sorry! My name is Karen Henderson, and I am a professor at the NYU (New York University),” katanya.
“And so what I can do for you?”  tanyaku. Dia lalu menanyakan jika saya ada beberapa menit untuk berbicara lewat telepon. “Yes, certainly I have, just for you, professor!" candaku. "Oh ... that is so kind of you ! ” jawabnya.

Karen kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.
“Saya adalah seorang professor yang mengajar sosiologi di New York University,” demikian dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai sosiolog, dia tidak saja mengajar di universitas tapi juga melakukan berbagai penelitian di berbagai tempat, termasuk luar negeri.

Karen sudah pernah mengunjungi banyak negara untuk tujuan penelitiannya, termasuk dua negara yang justru disebutnya sebagai sumber inspirasi. Yaitu Pakistan dan Afghanistan.
"Saya menghabiskan lebih dari 3 tahun di negara ini, sebagian besar di desa-desa," katanya. "Selama tiga tahun, saya punya banyak kenangan tentang orang-orang. Mereka sangat menakjubkan," lanjutnya.

Tidak terasa Karen berbicara di telepon hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan tanpa menyela sekalipun. Selain itu Karen berbicara dengan sangat menarik, informatif, dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, membuat saya lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistematis dan eloquent.

"Karen, itu adalah cerita yang sangat menarik. Saya yakin apa yang Anda lakukan seperti pengalamanku juga. Saya tinggal di Pakistan 7 tahun, dan memiliki kesempatan untuk mengunjungi banyak daerah-daerah yang tidak Anda sebutkan, " kataku.
"Tapi apa kau ingin menceritakan cerita ini?" tanyaku Lagi.

Nampaknya Karena menarik napas, lalu menjawab. Tapi kali ini dengan suara lembut dan agak lamban.
"Sir, saya ingin tahu Islam lebih lanjut, agama orang-orang ini. Mereka adalah orang-orang manis, dan saya pikir saya telah terinspirasi oleh mereka dalam banyak hal, " katanya.

Tapi karena waktu yang tidak terlalu mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telepon, saya meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya, Sabtu lalu. Dia pun menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam ketika saya mengajar di kelas khusus non-muslim, Islamic Forum for non-Muslims.

Keesokan harinya, Sabtu, saya tiba agak telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba, dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita menunggu saya. “She is the mosque.” (maksudnya di ruang shalat wanita). Saya segera meminta security untuk memanggil wanita tersebut ke kantor untuk menemui saya.

Tak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang shalwar dan gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir Bhutto.
Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if you are still busy with other things,” kata wanita baya umur 40-an tahun itu. Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan Jerman.

Not at all, professor! I am free for you,” jawabku sambil tersenyum.
“Silakan duduk dulu, aku pamit sekitar lima menit," mintaku untuk sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.
Setelah selesai melihat-lihat beberapa kelas pada hari itu, saya kembali ke kantor. “I am sorry Professor!” sapaku.

“Please do call me by name, Karen!” pintanya sambil tersenyum.

“You know, saya lebih senang memanggil seseorang penuh penghormatan. Dan aku benar-benar tak tahu bagaimana harus memanggil Anda,” kataku. "Di sejumlah negara, orang suka dikenal dengan gelar profesional mereka. Tapi aku tahu, di  Amerika tidak,” lanjutku sambil ketawa kecil.

Kita kemudian hanyut dalam pembicaraan dalam berbagai hal, mulai dari isu hangat tentang kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah komedi kartun Amerika, hingga kepada asal usul Karen itu sendiri.

“Saya adalah seorang kelahiran Yahudi. Orangtua saya orang Yahudi, tetapi Anda tahu, terutama ayahku, dia tidak percaya pada agama lagi,”
Bahkan menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan sebagai sekedar alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.

Namun menurut Karen, walaupun tidak percaya agama dan mengaku tidak percaya tuhan, ayahnya masih juga merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti Hanukkah, Sabbath, dll.
“Perayaan ini, sebagai orang Yahudi kebanyakan, tidak lebih dari warisan tradisi,  “ jelasnya. "Yudaisme adalah saya pikir bukan agama, dalam arti lebih tentang budaya dan keluarga, “ tambahnya.

Dalam hatiku saya mengatakan semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60 persen lebih Yahudi Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte ‘reform’ (pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan reformasi mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau keyakinan.

“Sekte reform” misalnya, sama sekali tidak percaya lagi kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan.
Pembicaranya adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak percaya.

Tiba-tiba seorang hadirin yang juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya, “Jadi, jika Anda tidak percaya pada kehidupan setelah kematian, mengapa Anda harus pergi ke rumah ibadat, mengenakan yarmukka, memberi amal, dll? Mengapa Anda merasa perlu bersikap jujur, bermanfaat untuk orang lain? Dan mengapa kita harus menghindari hal-hal yang harus kita hindari? " begitu pertanyaannya.

Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Kami melakukan semua karena apa yang harus kita lakukan,” ujarnya.  Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.

Kembali ke Karen, kami hanyut dalam dialog konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, Eropa, dan juga Asia , termasuk Asia Selatan.

"Tapi satu hal yang harus aku ceritakan padamu, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.
"Apa yang membuat Anda benar-benar heran tentang mereka,” tanyaku.       

“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan tentang mereka adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
"Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”

Saya tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di tengah-tengah pembicaraan kami. Dia seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar.

Di tengah-tengah membicarakan ‘kesulitan hidup’ orang-orang Afghanistan dan Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata tapi sambil melemparkan senyum. “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,” katanya.

Segera saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri. 

"Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di sini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada beberapa tempat, kadang di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi, " jelasku. “Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup kita sepenuhnya, tidak peduli bagaimana situasi dapat mengelilingi kehidupan itu sendiri,” jelasku.

Tanpa terasa adzan Dhuhur dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara. Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan, maka kita seharusnya mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.

Setelah adzan, saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen, "Jadi, apa yang benar-benar membuat Anda menelepon saya?”

"Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang-orang itu. Memori saya mengingatkan saya tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurangan kebahagiaan,” ujarnya seolah bernada marah.

"Tapi kenapa kau harus datang dan membicarakan dengan saya?" pancingku lagi.

Karen merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata. "Aku sudah memikirkan ini untuk waktu yang cukup lama. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana untuk melanjutkan itu. Aku ingin menjadi seorang muslim,” ujarnya mantap.

Saya segera menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya Anda sudah melalui proses itu, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir. 
"Pertanyaan saya adalah apakah Anda benar-benar yakin bahwa ini adalah agama yang Anda yakini sebagai kebenaran, “ kataku.

"Ya, tentu tidak diragukan lagi!" Jawabnya tegas.
Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bisa wudhu dan shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.

Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan, “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah” dengan penuh khusyu’ dan diikuti pekikan takbir ratusan jamaah yang hadir.
Hanya doa yang menyertai, semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai profesor ilmu-ilmu sosial di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin! [New York, 26 April 2010/www.hidayatullah.com]


clip_image002Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York dan penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com 

Selesai 
< billaahit taufiq wal hidayah >

Jumat, 07 Januari 2011

Membaguskan Hati dan Akhlak Anak - Membatasi Pergaulan Buruk (Part 2)

 

Pembentukan akhlak anak memerlukan campur tangan orangtuanya, seperti kertas putih kosong, sebagaimana hadits Nabi,”Setiap bayi dilahirkan senantiasa dilahirkan atas (dasar) fithroh (kemurnian tauhid). Lalu kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya beragama Yahudi atau Nashrani atau menjadikannya Majusi.”(HR Bukhori).

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah): (Tetaplah atas) fithroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu …”(QS. 30 ar—Rum:30).

 

Termasuk kewajiban sangat ditekankan bagi orangtua, yaitu ;  KEWAJIBAN PERTAMA meliputi :

1. Selalu menjaga anak dari segala sesuatu yang dapat mengeluarkan dari fithrah tauhid dan harus dengan baik dan bersungguh-sungguh mendidiknya.

2. Menjauhkannya dari penyusuan orang tidak baik, karena penyusuan dapat merubah tabiat (karakter, sikap dan akhlak).                           (HR al-Qudhoiy dari Ibn Abbas)

3. Harus selalu menanamkan di hati anaknya perihal :

   Ketauhidan - mengenal Allah dan mengenalkan Islam seluas-luasnya
   Keagungan syiar-syiar Islam
   Segala hal yang diharamkan Allah

4. Mengarahkan pada nilai kebaikan dengan cara :

   Menumbuhkan rasa cinta terhadap kebaikan
   Membangkitkan rasa senang untuk melakukan kebaikan
   Menumbuhkan rasa cinta terhadap pelaku-pelaku kebaikan
   Menjadikan si Anak rindu (menyukai) untuk melakukan kebaikan
   Mendorong si Anak untuk melakukan kebaikan
   Membiasakan tutur kata yang baik dan bijak dan menanamkan
     perasaan senang kepada para  pelakunya.

5. Menjauhkan si Anak dari nilai-nilai keburukan dengan cara :

   Menumbuhkan perasaan benci di hati Anak pada keburukan
     (kejahatan dan kekejian)
   Membangkitkan rasa tidak suka untuk melakukan keburukan
   Menanamkan kebencian kepada pelaku-pelaku keburukan dan
     orang-orang yang sedang melakukan keburukan dan kejahatan
   Menjauhkan si Anak dari para pelaku keburukan dan kejahatan
   Menjauhkan si Anak dari tempat-tempat keburukan dan kejahatan
   Menjauhkan Anak dari semua tayangan TV, gambar, video, verbal
     (pembicaraan atau perkataan) teks cerita, bacaan atau buku yang
     berdampak buruk dalam pembinaan akhlak
   Menjauhkan perkataan caci-maki, umpatan, celaan dan hinaan
     menanamkan rasa benci kepada para pelakunya.

6. Tidak menaburkan benih rasa cinta dunia di hati si Anak dengan cara :
   menjauhkan anak dari kecenderungan pada kesenangan dan
     dan kenikmatan-kenikmatan dunia
   Tidak membantu si Anak melakukan hal-hal tersebut
   Tidak pula menolongnya dalam melakukan hal itu
   Tidak juga membantu meringankan beban dalam masalah itu
Karena tindakan atau bantuan untuk si Anak yang berkecenderungan mengutamakan kesenangan dan kenikmatan duniawi termasuk perlakuan yang tidak baik kepada anak itu sendiri di pandang dari sudut kepentingan agamanya. Dan hal itu akan membelokkannya dari bentuk istiqomah (pengikutan pada jalan lurus sebagai tujuan beragama Islam).

  KEWAJIBAN KEDUA meliputi :
1. Wajib bagi kedua orangtuanya memerintahkan anaknya untuk :

   Melakukan sholat jika anak sudah mencapai 7 tahun baik anak laki
    maupun anak perempuan. Dan boleh dipukul dengan pukulan yang
    tidak membahayakan atau merusak tubuh, apabila meninggalkan
    kewajiban sholatnya pada usia 10 tahun
   Melatih dan melakukan hal yang mampu dilakukan si Anak pada
     usia 7 tahun seperti berlatih puasa penuh

2. Wajib bagi kedua orangtuanya untuk MENCEGAH ANAKNYA dari :

   KAWAN-KAWAN YANG BURUK (TABIAT DAN AGAMANYA)
   PERGAULAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL YANG TIDAK BAIK
   Kebiasaan-kebiasaan yang melalaikan kewajiban utamanya
   Kebiasaan membesar-besarkan (melebih-lebihkan) masalah kecil.

3. Wajib memberi perhatian lebih dan mencermatinya apabila melihat adanya tanda-tanda Tamyiz (berfungsi baik akalnya) dan tanda-tanda akil balik (memasuki usia remaja).

4. Tidak memanggilnya dengan perkataan maupun perbuatan kecuali dengan dengan lemah-lembut, manis, sopan dan baik. Hal ini dimaksudkan agar anak terbiasa dengan hal tersebut. Dan agar tertanam kuat dalam hati si Anak untuk mengulang-ulang kebiasaan baik tersebut. Sehingga pada usia dewasa kelak mudah baginya untuk melakukannya. Karena sesungguhnya kebaikan itu harus menjadi kebiasaan.

Kesimpulan :

Sekali lagi perlu diulang lagi untuk memberi penekanan pada topik dan judul diatas adalah menjaga bergaulnya putra-putri kita dari anak-anak lain yang BUKAN termasuk dari anak-anak pelaku kebaikan. Dan lebih diutamakan dan dianjurkan memilih anak anak dari bibit orang yang taqwa lagi faqih (ilmu agamanya mendalam).

Karena sesungguhnya dikatakan : “Kebanyakan kerusakan anak-anak berasal dari interaksi pergaulan sebagian mereka kepada yang yang lain.”

Penutup ;

Diantara saat ia lahir hingga usia baligh (dewasa) tidak ada pembebanan kewajiban (taklif) dari Allah ta’ala, misalnya sholat dan puasa atau dikenai hukum agama (syari’at Islam). Terkecuali kewajiban orangtua atau walinya untuk mendidik dan melatih kebiasaan baik kepada si Anak.

Untuk lebih mendalami masalah ini yang lebih memadai (lengkap) silahkan membaca kitab “Ihyaa ulumuddin” pada bagian Pelatihan Jiwa (“Riyadhotul nafsi”) karya al-Imam hujjatul Islam Al-Ghazaly. Berisi tentang cara melatih anak dan melakukan perbaikan pendidikan mereka.

Senin, 20 Desember 2010

MENDIDIK SI BUAH HATI

clip_image002

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang

Jika anak dibesarkan dengan Celaan, Dia belajar Memaki

Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, Dia belajar Berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan Cemohan, Dia belajar Rendah Diri

Jika anak dibesarkan dengan Penghinaan, Dia belajar Menyesali Diri

Jika anak dibesarkan dengan Kebohongan, Dia belajar Mendustai Diri

Jika anak dibesarkan dengan Ketakutan, Dia belajar Berkecil Hati

Jika dibesarkan dengan Kesombongan, Ia belajar Membual dan Tinggi Hati

                                                tn_3012_JPG

Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, Dia belajar Menahan Diri

Jika anak dibesarkan dengan Dorongan, Dia belajar Percaya Diri

Jika anak dibesarkan dengan Pujian, Dia belajar Menghargai

Jika dibesarkan dengan Sebaik-baik Perlakuan, Dia belajar Keadilan

Jika dibesarkan dengan Dukungan, Dia belajar Menyenangi Diri

Jika dibesarkan dengan Rasa Aman, Dia belajar Menaruh Kepercayaan

Jika dibesarkan dengan Memberi Kepercayaan,

                                     Ia belajar Mandiri dan Bertanggung Jawab

Jika dibesarkan dengan Kasih Sayang dan Persahabatan,

                                     Ia belajar Memberi dan Rasa Empathy

                                     < So Be Good >

Pok ame-amee, Belalang kupu-kupu
Tepuk tangan adiek lah pandai
Diupah air susu

Susu kental manis, Santan kelapa muda
Tersenyumlah adiek yang manis
Ayah bunda pun tertawa.

Pencarian Metode Pendidikan Jiwa (Bagian 1)

Saya mencemaskan anak saya. Anak pertama lahir setelah 7 tahun pernikahan. tersemat di Akta Kelahirannya nama Najwa Dzikrina Istighfarah binti Zulkarnain (5 tahun) disusul Abdillah Tanjung (3 tahun). Dua orang beradik-kakak ini menjadi lubuk curahan hati ayah-bundanya. Najwa pun sudah di Pre-School  dan ini  yang menjadi sumber keresahan saya sebab tahun depan memasuki Elementary School. Alamak! Sekolah-sekolah  yang ditawarkan kepada kami biaya masuknya mahal. 

Saya pun termangu dan mulai membandingkan sekolah saya di SD Negeri tahun 1970-an dengan kondisi belasan tahun terakhir. Dahulu teman sepermainan saya, anak tukang cuci, dengan sistem  pendidikan saat itu memungkinkan dia meraih gelar master dan status sosial terhormat sekarang ini. Banyak anak buruh atau petani miskin di pedesaan pulau Jawa namun anaknya mampu kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Salah satu teman kuliah saya seangkatan di Fakultas Ekonomi UGM di pertengahan tahun 1980-an adalah anak petani miskin di Bantul Yogyakarta namun bisa membiayai kuliahnya dari pekerjaan mengayuh becak. Maka ada peluang terjadinya  Mobilitas Sosial Vertikal.

Apa nak jadi, sekolah Indonesia sarat dengan biaya dan memasuki pusaran 'Kapitalisme-Pendidikan' sebagai implikasi kebijakan negara yang tunduk mengikuti intervensi dan tekanan kekuatan-kekuatan Asing melalui para menir IMF dan Bank Dunia dengan advise-nya KURANGI SUBSIDI di semua lini pembangunan sehingga negara tidak berdaya lagi memberdayakan rakyatnya. Maka terjadilah proses pemiskinan struktural - orang tetap melarat karena dia miskin dan tidak ada akses modal pinjaman lagi -  tidak ada lagi BUUD (Badan Usaha Unit Desa) dan KUD (Kredit Usaha Tani ) untuk mengentaskan petani miskin. Dunia pendidikan pun semakin tertutup aksesnya bagi penduduk miskin karena subsidi tidak lagi mencukupi  anggaran pendidikan nasional.

Yang tertinggal hanya indahnya romantisme sejarah masa lalu. Dimana sebelum pukul 07.00 pagi anak-anak miskin  tanpa alas kaki, celana pendek dan baju beragam (belum ada wajib seragam) penuh semangat berangkat ke sekolah dengan buku-buku paket yang setahun penuh boleh dibawa pulang. Mereka pun lantang menceritakan cita-cita setinggi-tingginya di depan kelas dan berani  pula untuk bermimpi tentang masa depannya. (Murid SD pada tahun 1970-an diperbolehkan tidak beralas kaki terutama di pedesaan, saya sendiri meskipun tinggal di kota Yogyakarta baru mulai bersepatu di bangku kelas 5 atau naik ke kelas 6).  

Sebenarnya bukan biaya pendidikan yang menakutkan saya tetapi sistem pendidikan yang TERLALU 'Intelektualistis'  yang menjadi mimpi buruk saya.  Hal ini mulai dirasakan di tingkat Dasar hingga Menengah-Atas. Pada tingkat Diploma dan Sarjana pun tidak jauh berbeda ditambah kurikulum  yang terlalu Job-Oriented. Motif  kuliah di  Univeritas yang paling dominan dipastikan untuk menjadi orang kaya  maka akan terjadi mobilitas vertikal dari Masyarakat Kelas Bawah ke Masyarakat Menengah - Atas. Tujuan mengubah nasib melalui jalur pendidikan memang tidak salah tetapi hampir tidak ada orang menuntut ilmu (bersekolah) karena kecintaan kepada ilmu itu sendiri, apalagi pada sistem pendidikan kapitalistik.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada institusi pendidikan Islam yang dituduh 'Terlalu Transedental' atau 'Terlalu Spiritualistis'. Dengan menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin mendalam materi ajaran Islam maka akan semakin sukar dipahami pikiran atau bahkan dianggap diluar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Ujung-ujungnya nampak tidak rasional dan tidak memiliki link dengan dengan kehidupan modern.

Sesungguhnya pendidikan dalam Islam tidak mengenal dikotomi seperti itu - tidak ada pemisahan urusan dunia dan masalah spiritual. Pengajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak melulu intelektualistik yang menghasilkan kepribadian Rasional, Pragmatis dan serba praktis dan tidak pula melulu spiritualistik yang terlalu asyik dengan ritual ibadah.

Islam memiliki pengajaran sangat unik, konsep pendidikannya sangat menekankan ILMU dan ilmu dalam Islam berdimensi IMAN dan AMAL. Sebab itulah Konsep Pendidikan Islam sangat menuntut pemahaman tentang 2 hal : 
(1)  Bagaimanakah kedudukan IMAN, ILMU dan AMAL dalam jiwa manusia,
      kemudian
(2)  Bagaimanakah cara menanamkan itu semua ke dalam jiwa manusia.

Saat ini saya sangat kesulitan menemukan tempat pendidikan anak dengan visi seperti itu di sekitar kediaman saya, SD Islam Terpadu yang ada terlalu mahal dan ikut pusaran arus intelektualistik. Sering pula SD dengan label SDIT  ini untuk menarik peminat mencantumkan Iman-Ilmu-Amal atau membentuk generasi Rabbani kenyataannya masih jauh dari harapan. Pendirian banyak pesantren baru yang menjamur termasuk dengan label Pesantren Modern pun masih jauh dari harapan. Nampaknya dibutuhkan pengorbanan IKHLAS dari berbagai kalangan umat yang berkepentingan dengan masa depan Kejayaan Islam untuk bekerja sama dan selalu 'berijtihad' terus-menerus dan dengan seksama mencari sistem pendidikan yang paling cocok dan terintegrasi untuk PENGEMBANGAN JIWA ANAK DALAM SEMUA ASPEK KEJIWAANNYA.

Budaya IKHLAS mencintai ilmu dan memuliakan guru-guru yang juga lkhlas mentransfer ilmunya sementara ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salaf yang justru semakin ditinggalkan, dayeuh-dayeuh dan sebagian pesantren Modern, sisanya wallaahu a'lam. Perlu diketahui, bagi santri pemula harus mengaji dan mengamalkan kitab 'Ta'liimu muta'allim' yang berisi adab (etika) Penuntut ilmu terhadap ilmu itu sendiri, terhadap guru, larangan-larangan dan anjuran-anjuran bagi penuntut ilmu dan hal -hal lain yang relevan.  

CAMKAN! Semua pelaku dunia pendidikan Islam harus memahami benar bahwa jiwa manusia (nafs) adalah  OBYEK pengajaran dalam sistem Pendidikan yang akan diterapkan. Pemahaman terhadap Konsep Jiwa Manusia Dalam Pandangan Islam ini sangat-sangatlah dibutuhkan sebelum bicara tentang metode atau sistem pendidikan, sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
 
Penekanannya adalah bagaimana ilmu itu berproses sehingga ilmunya melahirkan iman bukan bagaimana ilmu didapat (intelektualistik). Jika pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia maka akan lahir manusia-manusia tinggi ilmu dan iman sekaligus banyak amalnya. 
                                          (to be continued)

Minggu, 19 Desember 2010

Pencarian Metode Pendidikan Jiwa (Bagian 2)

Dalam pandangan Islam jiwa manusia adalah  OBYEK pengajaran. Pemahaman terhadap Konsep Jiwa Manusia menurut Islam sangat dibutuhkan sebelum bicara metode atau sistem pendidikan, sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan dan masing-masing memiliki peranan sangat penting. Inti dari jiwa manusia adalah Qalb (kalbu), didalamnya mencakup Sadr (kesadaran), Fuad (sanubari/nurani) dan Lubb (akal pikiran yang selalu mengajak beriman). 

Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis kitab ‘Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa  al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub.’ (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan  Lubb (akal pikiran). Istilah sadr dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dengan istilah qalb yang berarti hati atau  kalbu. Fuad diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dengan lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal fikiran tauhidi.

Semua itu merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika dibedah dada orang tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah (tidak zahir) alias tidak empiris.

Kesadaran (consiousness) ada dalam hati (qalb) seperti kedudukan putih-mata didalam mata. Kesadaran adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam jiwa manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui Kesadaran (sadr). Amarah, cita-cita, keinginan, birahi, itupun masuk ke dalam sadr dan bukan ke dalam qalb. Akan tetapi sadr juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui panca-indera seperti mata dan pendengaran. Jika hilang kesadaran (i.e. pingsan) maka semua hal diatas tertutup pintu masuknya ke dalam jiwa atau hati. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran berhubungan dengan sadr (akar kata ‘sadara’ (muncul)).

Jika sadr ada di dalam qalb maka qalb itu sendiri ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.  Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahanya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan. 

Sebagai raja qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka di dalam qalb itu pun terdapat ilmu.

Jika qalb (hati) itu adalah mata dan sadr (kesadaran) itu adalah putih-matanya maka fuad itu adalah hitamnya pupil (bola) mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berfikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada ditengah-tengah hati dan Lubb adalah cahaya mata. 

Jika qalb adalah tempat bersamayamnya cahaya keimanan dan sadr tempa cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya ketauhidan.

Gambaran diatas nampaknya terlalu spiritual atau dalam bahasa filosof Kant terlalu transcendent. Tapi memang proses berfikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini adalah bagaimana ilmu itu berproses sehingga ilmunya melahirkan iman bukan bagaimana ilmu didapat (intelektualistik). Jika pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti yang digambarkan Hakim Tirmidhi maka akan lahir manusia-manusia tinggi ilmu dan iman sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan fikirannya (lubb) berjalan seimbang. (sumber : Misykat – Kalbu, Harian Republika, 20 Oktober 2010 by Hamid Fahmi Zarkasyi).

Biografi singkat :                                                                                

Hakim Tirmidzi lahir sekitar tahun 820 di kota Tirmidh, terletak di perbatasan antara USSR dan Afghanistan, dekat kota Balkh. Dia keturunan dari keluarga ahli teologi Islam. Pada usia 30-an dia menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekah ia mengabdikan diri di ranah sufi dan menjadi penulis yang sangat produktif di bidang ini. salah satu kitabnya berjudul : Bayan al-farq, bayn al-Sadr wal-Qalb wal-Fuad wal-Lubb.

Hakim Tirmidzi menyebut Lubb atau cahaya hati yang rumahnya didalam hati ini dengan sebutan cahaya ma'rifah. Melalui cahaya dalam hatinya ini orang tahu 'secara alami' bahwa Allah ada. Tapi dia tahu Allah itu ada tidak secara otomatis. Di satu sisi, kesadaran tentang Allah ada di alam bawah sadar dan perlu diaktifkan melalui usaha sendiri. Di sisi lain, usahanya saja bukan faktor penentu dalam memperoleh pengetahuan tentang Allah. Potensi pengetahuan ini ditetapkan  dengan rahmat ilahi, dengan demikian potensi pengetahuan tentang Allah bervariasi dari orang ke orang. Karena hati itu juga diibaratkan seperti cermin kaca, jika terlalu banyak noda (dosa) yang menempel akan menghalangi cahaya hati (Lubb atau Ma;rifah) untuk mengenali keberadaan Allah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More