“Bismillaahi-r-Rahmaani-r-Rahiim” “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” Ayat 1
Mulailah pekerjaan dengan ‘Basmallah’, Apa maksud dan tujuannya? Agar setiap perbuatan ada sentuhan sakral (terhubung dengan Allah) dan diberkati atau perbuatannya menjadi suci dan memiliki nilai amal saleh.
*) “Dengan Nama” atau “Bi-ismi”
Dilarang mensejajarkan nama makhluk dengan Allah. Jika Allah disebut, dilarang menyebut nama lain karena berarti Dualisme. Sering perbuatan dimulai dengan ucapan “atas nama rakyat”,“demi cinta” atau “demi …” daripada “dengan nama Allah.” sementara Allah telah memerintahkan agar nama-Nya selalu disebut dan dilafadzkan dalam dzikir.
*) “Allah”
Nama bisa berupa simbol (lambang) atau kata bermakna. Meski dengan kata bermakna, kadang artinya belum diakui umum atau tidak menerangkan sifat sesungguhnya tetapi hanya alat pengenal. Contoh orang bernama “Saleh” tapi perilakunya sama sekali tidak menunjukkan kesalehan atau “Muslim Wijaya” tetapi orang cina penganut Kong Hu Cu.
Idealnya nama menerangkan bagaimana sifat pemilik. Begitulah dengan nama-nama Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an (Asma’ul Husna) mewakili hakikat suci dan di setiap nama-Nya menunjukkan satu bagian kesempurnaan-Nya.
Lafadz “Allah” berasal dari akar kata A-Lah atau Wa-Lah. Apabila berasal dari akar kata A-Lah (Sembah) maka memberi kesan adanya SATU Hakikat patut disembah karena kesempurnaan-Nya. Dan bila dari akar kata Wa-Lah (Ketakjuban), menyiratkan semua nalar takjub pada hakikat-Nya yang Maha suci (SubhaanaAllah).
Imam Sibawaih, ahli tatabahasa dan sintaksis (Nahwu shorof), menegaskan bahwa “Wa-Lah” merupakan akar kata Allah, maka : Allah berarti Hakikat satu-satunya Zat patut disembah dan dengan segala kesempurnaanNya semua nalar secara tak sadar takjub kepada-Nya.
*) “Ar-rahmaan Ar-Rahiim”
Maha Pengasih dan Maha Penyayang tentu saja berbeda dengan sifat Dermawan dan Penyayang yang dilekatkan pada sifat baik manusia. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
*) “Ar-Rahmaan” (“Maha Pengasih”). Ar-Rahmaan berarti kekuasaan tidak terbatas yang menjadi karunia dan bisa dinikmati oleh semua makhluk. “Rahmat-Nya melingkupi segala sesuatu” (al‘Araf 156). Apapun ada karena karunia-Nya sehingga Implikasinya : 1). .– Ada kebutuhan luarbiasa pada semua makhluk sehingga mereka .memohon kepada>Allah. 2). – Allah pun mengirim karunia tak terbatas agar kebutuhan semua makhluk terpenuhi. 3). – Rahmat Allah bersifat Universal (untuk semua makhluk) dan tidak terbagi dalam dua jenis (yaitu Baik dan Buruk) karena semua karunia Allah baik dan diberkati, untuk semua makhluk (beriman, kafir, hewan maupun tumbuhan ataupun ciptaan Allah lainnya).
*) “Ar-Rahiim” “Maha Penyayang”
Ar-Rahiim berarti Dia memberi rahmat khusus (belas kasih) hanya kepada mereka yang, setelah melalui keimanan dan amal saleh, menempatkan diri sebagai hamba taat. Rasa sayang manusia ada jika tersentuh hati (iba) pada keadaan makhluk lain yang membutuhkan.
“Al-Hamdu lillaahi-r-Robbi-l-‘Alamiin“ “Segala Puji Bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam” Ayat 2
*) “Al-Hamdu”
Hamd mencakup arti Madh (Pujian/sanjungan), Syukr (Rasa terimakasih) dan Ibad (Penyembahan). Jika masing-masing arti berdiri sendiri tidak memberi pengertian penuh (tepat), Karena makna Hamd yang Artinya penyembahan menjadikan makna “Hamd” hanya dikhususkan bagi Allah.
Arti Madh : ungkapan perasaan khas manusia yang tampak saat dihadapkan keindahan, keanggunan, kesempurnaan, kebesaran dan keagungan. Perasaan hanyut melihat keindahan Qur’an tulisan tangan hingga meluncur pujian tulus. Saat ditanya : “Mengapa memuji padahal tak ada upahnya?” Dijawab: “Apakah pujian harus dapat imbalan?” Akal harus merasa rendah dihadapan nilai-nilai diatas dan cara mengekspresikannya dengan ‘Pujian’. inilah arti sebenarnya Madh. Sebaliknya untuk diartikan ‘sanjungan’ konotasinya negatif yaitu memuji tidak sesuai keadaan sebenarnya atau karena dorongan ketamakan.
Syukr juga perasaan khas manusia. “balasan kebaikan adalah kebaikan”(QS 55:60). Anda bertemu orang bersifat baik yang memenuhi kebutuhanmu tanpa menunggu dimintai tolong, timbul rasa terimakasih dan rasa rendah menghadapi kemuliaannya. Maka jika ada kesempatan Anda pun berusaha memuji, merasa lega dan senang hati karena telah mengekspresikan perasaan. Ini yang dimaksud Madh dan Syukr sekaligus.
*) “Al-Hamdu lillaah” “Segala Puji Bagi Allah”
HAMD sekaligus berarti SYUKUR, PUJIAN dan PENYEMBAHAN. Syukur sebab Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Segala Puji bagi Pemilik Hakikat Kesempurnaan, Keagungan, merasa rendah di hadapan Kebesaran-Nya. Penyembahan pun hanya kepada satu-satunya Zat layak disembah.
Tidak setiap hati diberi kemampuan memuji sekaligus diliputi syukur dan tunduk menyembah Allah. Imam Ali ra Berkata : “Ya Allah, aku menyembah bukan karena mengharap surga-Mu; dan bukan pula karena takut api neraka-Mu. Meski Engkau tidak menciptakan surga dan neraka; aku tetap menyembah-Mu. ...karena Engkau sebagaimana adanya, dan Engkau patut disembah.” (dinukilkan dari kitab Nahjul Balaghah)
*) “Robbi-l-‘alamiin” “Tuhan Seru Sekalian Alam”
Arti “Robb” : Tuhan; Pendidik; Pemelihara dan Penguasa. Makna Robb : Tuhan Penguasa mutlak, Pendidik sempurna dan Pemelihara yang tidak ernah tidur dalam menjaga seluruh makhluk-Nya.
Dunia tak kekal, selalu berubah dan berkembang, sunatullah mengatur sistem alam semesta seisinya. Dunia seperti lahan pertanian dimana setiap bibit dapat tumbuh, yang bersifat baik akan mencapai kesempurnaan dan yang buruk pun tetap tumbuh berkembang. Dunia diciptakan penuh gangguan dan bibit yang ditanam mungkin memberi hasil atau tidak sama sekali. Orang kafir dapat saja mencapai tujuan dengan rencana baik, tapi bukan berarti itu jadi bukti kebenaran.
Seperti diungkap dalam Al-Qur’an :
“Bagi golongan pertama (I) yang menginginkan kenikmatan dunia maka disegerakan baginya apa saja yang Allah kehendaki untuk diberikan kepada mereka yang Dia kehendaki dan ditetapkan baginya neraka jahanam. Bagi golongan kedua (II) orang beriman yang menginginkan kehidupan akhirat dan berusaha sungguh-sungguh akan diberi ganjaran baik. Kepada masing-masing golongan Allah berikan bantuan dari kemurahan-Nya yang tidak dapat dihalangi.” (Al-Isra’ 18-20)
“Ar-rahmaani-r-Rahiim”“Maha Pengasih Maha Penyayang” Ayat 3
Maha Pengasih. Mengenal sifat ini perlu penalaran, prasangka baik dan pengetahuan alam semesta, tujuannya : 1-). Menghilangkan syirik di hati, 2-). Menghindarkan kecenderungan membagi ciptaan dan kejadian di dunia menjadi sisi baik dan sisi buruk padahal semua itu kehendak-Nya. Ia harus lebih mempertimbangkan bahwa semua eksistensi merupakan manifestasi sifat Maha Pengasih. Atau lebih jauh lagi. 2-). Menghindarkan diri dari Berburuk Sangka kepada Allah ta’ala.
Sesungguhnya baik-buruk, bersifat relatif di pikiran manusia saja, bukan bagian eksistensi dan sifat Allah. Saling memangsa di dunia hewan wajar untuk keseimbangan rantai makanan, tapi dianggap keji jika dilakukan manusia. Maka keharusan hati, akal dan pikiran untuk menghapus prasangka buruk pada Allah adalah masalah aqidah.
Penyakit, musibah, bencana dan kematian adalah bentuk sifat Pengasih-Nya. Hukuman dunia dan akhirat adalah keadilan Ilahi. Jangan seperti orang Yahudi yang lebih menekankan sifat kuasa dan dendam pada sifat tuhannya, Yehova. Itu sebabnya frase “Dengan nama Allah” diikuti frase “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” bukan “Yang Maha Kuasa dan Yang Mendendam”.
Memuji Allah juga harus dikaitkan dengan sifat Maha Pengasih (pujian harus disertai rasa syukur, tunduk merendah diri dan menganggap semua eksistensi sebagai anugerah kebaikan-Nya).
Sifat Maha Penyayang. Mengenal sifat ini bergantung pada pengetahuan menyeluruh tentang kedudukan manusia diantara makhluk lain (hakikat manusia). Manusia adalah makhluk paling utama dan Al-Qur’an menyebut khalifah di bumi. Ia makhluk bermasyarakat, fitrahnya bertauhid (al-‘Araf 172), berpikir, praktis (mempraktekkan pemikiran) dan jika sifat ini kurang lengkap maka ia tak sempurna. Ia mencapai derajat pertumbuhan intelektual sedemikian rupa sehingga bebas memilih jalan hidup. Jika memilih jalan lurus menuju Allah ada balasan baik di akhirat, mendapat pertolongan-Nya, dijamin rizki, meraih derajat ketaatan dan penyerahan diri.
Rasa Sayang dari Allah Maha Penyayang hanya diberikan kepada hamba-Nya di alam kubur, sebelum anugerah besar di akhirat. Seperti orang mati syahid, ruhnya tetap hidup dan memperoleh rizki di sisi-Nya. Sedang rasa kasih dari Allah Maha Pengasih dihubung-kan dengan masa di dunia dan diberikan kepada semua makhluk, baik beriman maupun kafir bahkan kepada hewan dan tumbuhan.
Hamba yang saat berdoa memahami Allah Maha Penyayang, memperlihatkan ia bukan hanya mengerti seluruh penciptaan sebagai manifestasi sifat Maha Pengasih, lebih dari itu, ia juga meyakini kembali kepada-Nya (berserah diri dalam doa, menghadapi penyakit atau musibah) juga merupakan anugerah. Karena semua itu menghantarkannya mendapat kasih dan sayang-Nya.
“Maaliki yaumi-d-Diin” “Penguasa hari pembalasan” Ayat 4
“Malik” dapat dibaca dengan 2 cara ; ‘Maalik’ (Pemilik)’ dan ‘Malik’ (Penguasa), jika kedua cara ini dilekatkan pada manusia sifatnya artifisial, karena Allah-lah Pemilik dan Penguasa sebenarnya. Pada hari pembalasan Allah menunjukan siapakah Pemilik dan Penguasa sebenarnya? Dia Penguasa dan Pemilik seluruh ekistensi.
“Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu (pula) kami memohon pertolongan“ Ayat 5
Islam sepenuhnya agama monotheisme (mengesakan Allah) disemua aspek kehidupan; kepercayaan; pendidikan; moral; kemasyarakat-an; sikap-perilaku; perdagangan; peradaban dan sebagainya semua terkandung nilai2 amaliyah ditujukan kepada Allah Yang Maha Esa.
*) “Iyyaaka na’budu ...“ “Hanya kepada-Mu lah kami menyembah ...“
Frase ini menyiratkan Islam agama yang mengesakan tuhan (monotheisme). Ada 2 monotheisme : Teori dan Praktek.
Teori Monotheisme
Dalam teori monotheisme, pengakuan pentauhidan Allah dikuatkan dengan pemikiran, yakni memahami Allah satu-satunya Hakikat yang patut disembah. Maksud pembahasan ini adalah bahwa Fatihah ayat 1-4 terkait dengan monotheisme di tingkat pemikiran. Semua kata dan kalimat berhubungan dengan pemahaman tentang : 1-) Allah khas dalam sifat, tindakan dan hakikat-Nya patut disembah dan hanya bagi-Nya segala puji dan syukur harus ditujukan, 2-) Hakikat semua eksistensi (alam seisinya dan akhirat) sebagai rahmat-Nya.
Inilah mukjizat Al-Qur’an, masalah tauhid yang tinggi dan mendasar hanya teringkas dalam kata-kata yang sangat sedikit. Manusia diminta merenungkan artinya dan bukan hanya mengulang-ulang bacaan 4 ayat ini dalam shalatnya. Memang dengan memanggil Allah dengan sifat-sifatNya dalam shalatnya hamba yang beriman, maka sesungguhnya ia berusaha memahami Hakikat yang patut disembah. “bersujudlah kamu hingga datang keyakinan.”
Praktek Monotheisme
Praktek monotheisme adalah membuat orang bergerak menuju Allah dan ini terkait erat dengan ayat 5-7 Al-Fatihah. Jika dengan kesadaran berkata “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” sesungguhnya kita mulai melakukan praktek monotheisme dan beriman dalam arti khusus. Kemudian di luar shalatnya dibutuhkan kepatuhan atau ketaatan.
Tha’at kepada Allah adalah dengan menunjukkan ketundukan, lembut, patuh menjalankan perintah-perintahNya, tidak menunjukkan keingkaran, pemberontakan kepadaNya. Pada waktu yang sama juga menunjukkan ketidakpatuhan, penolakan dan pemberontakan pada segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan Allah. Singkatnya, ketundukan mutlak kepada Allah dan juga pemberontakan mutlak kepada selain Allah.
Praktek mengesakan Allah menuntut ketaatan kepada perintah-Nya dan mereka yang Dia perintahkan untuk ditaati dan menolak selain dari itu. Seperti mentaati Nabi adalah kewajiban, mentaati Imam yang menegakkan syari’at dan Ulama yang faqih (sangat paham), saleh dan berakhlak baik adalah sesuai perintah-Nya seperti juga mentaati Ulil Amri (pemerintah) selama tak bertentangan Islam.
Dualisme Adalah Lawan Dari Monotheisme Islam
Dualisme adalah pengakuan bertuhan satu tetapi masih menuhankan tuhan lain atau banyak tuhan (politheisme). Banyak ayat al-Qur’an yang mengungkap adanya dualisme atau politheisme, diantaranya :
1-). “Pernahkah kamu menyaksikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS, 25:43). 2-). “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (QS. 9;31)
Ini adalah celaan Al-Qur’an kepada kaum Yahudi dan Kristen yang awalnya mengesakan Allah lalu melakukan penyimpangan. Memang mereka tidak merendahkan diri seperti si Penyembah berhala tetapi mereka taat dan tunduk membabi-buta kepada orang-orang pandai dan rahib-rahib atau patuh dan tunduk pada angan-angan dan nafsu panutan mereka. Padahal ketaatan hanya untuk Allah dan kepada mereka yang Dia perintahkan untuk ditaati.
3-). Katakanlah : “Wahai Ahlu-l-kitab marilah pada suatu ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS. 3;64)
Kesimpulannya : Tidaklah cukup monotheisme hanya di tingkat pemikiran saja. Setelah memahami Allah dalam hakikat, sifat dan tindakan-Nya seorang hamba Allah juga harus taat dengan kepatuhan dan ketundukan serta menjauhi larangan-Nya.
*)“... wa iyyaaka nasta’iin” “...dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”
Ada polemik mengenai apa yang disebut oleh para Penggugah Semangat dalam kursus pengembangan kepribadian di dunia sekuler yang disebutnya sebagai “Percaya Diri.” Mereka mengajarkan bahwa bergantung pada sesuatu diluar dirinya menyebabkan sifat lemah dan ketergantungan. Katanya orang tidak boleh menyandarkan diri pada Tuhan dan percaya diri sekaligus.
“Percaya Diri” memang dapat membangun dan menghidupkan kekuatan diri tetapi tidak boleh berlebihan, sebab banyak orang terpelajar atau kaum intelektual telah meniadakan ketergantungannya pada Allah. Dianggap tidak modern, rasional dan menyebabkan “tidak PD”. Jargon mereka “Gue Banget” di MTV.
Sikap yang benar adalah manusia harus menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah dan menganggap semua yang ada (termasuk orang lain) hanya sarana. Kekuatan, akal, keteguhan, watak dan sikap positif adalah sarana pribadi karunia Allah. Meminta tolong dan bergantung pada orang lain boleh karena manusia diciptakan saling bergantung dalam bermasyarakat dan menyarankan kerja-sama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Manusia punya kekuatan tetapi kekuatan Allah-lah yang orang dapat bergantung tanpa cemas. Ingat! Allah pencipta manusia dan semua sarana.
“Ihdina-sh-Shiraatha-l-Mustaqiim”“Tunjukilah kami pada jalan yang lurus” Ayat 6
Jalan yang membawa manusia kepada Allah adalah jalan kesempurnaan(jalan lurus). Ia bebas memilih, tapi memilih jalan lurus harus dicari, maka diutuslah para nabi pembawa petunjuk. Manusia dilengkapi kecakapan bawaan memilih dan punya perbedaan mendasar dibanding makhluk lain (Malaikat, jin, hewan dan tumbuhan atau ciptaan Allah lainnya) yang tanpa pilihan jalan menuju Allah sebagaimana manusia.
“Shiraatha -l- ladziina an ’amta ‘alaihim ghairi -l-maghdhuubi ‘alaihim wala -dh- dhaaliin.” “Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan yang sesat” Ayat 7
Menurut pemilihan jalan hidupnya dan hasil ibadahnya, manusia dibagi 3 kelompok :
(1) Mereka karena ibadahnya, mendapat rahmat khusus, selalu diberi nikmat dan dimuliakan Allah.
(2) Kafir-ingkar diperlakukan dengan murka Allah dan kehilangan jalan kesempurnaan sama sekali.
(3). Orang-orang yang ragu dan memiliki jalan yang tidak pasti, kebingungan. (jalan yang sesat).