Arus rasionalisasi dalam Islam diawali oleh usaha penterjemahan literatur filsafat Yunani (seperti Socrates dan Plato) pada awal abad 8 M (704 M), telah memicu pemikiran kritis terhadap ajaran Islam. Tinjauan filosofis pun menjamah tentang Allah SWT.
Fenomena ini melahirkan ilmu Kalam (Theologi Islam). Awalnya tujuan para theolog Islam (Mutakallimin) untuk membentengi aqidah Islam dari masuknya unsur2 asing. Seperti Hasan Asy’ari merumuskan masalah ketuhanan yang di kalangan pengikutnya saat ini disebut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (dianut kaum Sunni). Aliran Asy’ariyah berpendapat Allah dalam berkehendak dan berkuasa bersifat mutlak (absolut).
Wacana BARU Washil ibn Atho’(pendiri sekte Mu’tazilah) sangat berbeda dengan tradisi aqidah yang diajarkan Nabi SAW. Ia melahirkan pandangan bahwa : perbuatan dan kehendak Tuhan TIDAK absolut.
Aliran Mu’taziliyah (arti harfiyahnya “memisahkan diri”) muncul di Basra, Irak, abad 2 H, bermula dari tindakan Washil bin Atho' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al_Bashri karena perbedaan pendapat. Pendapatnya bahwa muslim yang berdosa besar bukan mukmin lagi dan bukan pula kafir tetapi ia fasik. Sementara gurunya berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Paradigma baru diatas memunculkan ajaran2 baru dalam aqidah umat Islam. Rasionalisasi (akal) telah merasuk terlalu jauh dalam memikirkan zat Tuhannya. salah satu ajarannya adalah – Sholah wal Ashlah (secara harfiyah berarti “baik dan terbaik”).
Perdebatan Di Sekitar Keadilan Tuhan
Issue Keadilan Tuhan untuk pertamakalinya muncul ke permukaan karena kaum Mu’tazilah telah menjadikannya sebagai salah satu ajarannya. Bahkan mereka menyebut diri mereka “Ahlul Adli”, yaitu golongan yang mempertahankan Keadilan Tuhan.
Ajaran Sholah wal Ashlah
Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa semua perbuatan yang berhubungan dengan manusia ditentukan berdasarkan kemashlahatan manusia atau berdasarkan hikmah dan tujuan. Singkatnya semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat bagi makhluk-Nya.
Untuk itulah Tuhan berkewajiban berbuat baik (sholah) dan terbaik (ashlah) kepada mackhluk-Nya (manusia) dalam arti seluas-luasnya, yaitu termasuk mengirimkan Rasul dan memberikan daya kepada manusia untuk melaksanakan kewajibannya. Sebab Dia tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul oleh kemampuan manusia. (QS. Al_Baqoroh 2 : 286).
Ajaran “sholah wal ashlah” milik Mu’tazilah menyatakan bahwa mereka mensucikan Allah dari perbuatan buruk. Tuhan tidak menghendaki kejahatan dan segala perbuatan buruk lainnya. Dan semua perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik.
Lalu darimana datangnya perbuatan buruk manusia? Manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan buruk, maka ia harus bertanggungjawab penuh terhadap semua perbuatannya.
Keterkaitan Ajaran Sholah dan Ashlah Dengan Konsep Keadilan Tuhan
Keadilan Tuhan mengandung arti semua perbuatan Tuhan baik dan terbaik bagi manusia, dan Dia tidak mengabaikan kewajiban2 kepada makhluk-Nya (manusia).
Tuhan tidak berbuat buruk. Allah tidak bersifat zholim (aniaya). Dia tidak menghukum anak seorang musyrik karena dosa orangtuanya. Ia juga tidak menghukum orang yang taat kepada-Nya dan juga tidak memberi pahala kepada orang yang mendurhakai-NYa.
Menurut Mu’tazilah, Tuhan Adil adalah Tuhan yang berbuat semestinya (menurut Harun Nasution “Tuhan yang konstitusional” – taat kepada aturan-NYa sendiri). yaitu menghukum dan memberi pahala kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kesimpulan : (1). Kaum Mu’tazilah dengan akal bebasnya telah tersesat jauh sehingga dengan kelancangannya menggugat kehendak dan kekuasaan mutlak Allah. (2). Ajaran Keadilan Tuhan dan “Sholah wal Ashlah” cenderung memandang dari sudut pandang kepentingan manusia. (3). Mu’tazilah berlepas diri dan samasekali tidak terikat dengan paham Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Allah SWT.
Wallaahu a’lam bi shawab
0 komentar:
Posting Komentar